Menyoroti Kasus Pelecehan Seksual oleh Agus Sang Difabel Tanpa Tangan

Oleh Queen Rania Abdullah

Pelecehan Seksual oleh Difabel: Tantangan Hukum, Etika, dan Sosial

Pelecehan seksual merupakan tindakan yang melanggar hukum dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Ketika pelaku adalah seorang penyandang disabilitas, seperti kehilangan kedua tangan, kasus tersebut menjadi lebih kompleks. Hal ini memicu diskusi luas terkait keadilan, kesetaraan hukum, serta stigma terhadap kelompok difabel.

Kasus Agus Buntung: Difabel yang Diduga Melakukan Pelecehan Seksual

Baru-baru ini, kasus yang melibatkan I Wayan Agus Suartama, atau Agus Buntung, seorang penyandang disabilitas tanpa kedua tangan, menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Pada 22 November, Polda NTB menetapkannya sebagai tersangka pelecehan seksual berdasarkan Pasal 6(c) UU RI No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Keputusan ini menuai beragam reaksi, mulai dari simpati terhadap kondisi fisik pelaku hingga kritik keras terhadap aparat penegak hukum.

Banyak yang mempertanyakan bagaimana seseorang tanpa kedua tangan dapat melakukan pelecehan seksual. Namun, laporan menyebutkan bahwa dugaan pelecehan dilakukan melalui tindakan verbal, gestur, dan kontak fisik yang tidak diinginkan. Meskipun kondisi fisiknya berbeda, hukum Indonesia menetapkan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 289 KUHP tentang pelecehan seksual.

Rekonstruksi Kasus dan Bukti yang Dikumpulkan

Pada 11 Desember, Polda NTB menggelar rekonstruksi kasus ini di tiga lokasi, yaitu Taman Udayana, Islamic Center, dan sebuah homestay di Kota Mataram. Agus memperagakan 49 adegan berdasarkan kronologi yang disampaikan oleh korban dan dirinya. Dalam rekonstruksi, salah satu momen kunci adalah pertemuan pertama antara Agus dan korban berinisial MA di Taman Udayana. Agus diduga mendekati korban, mengaku sebagai mahasiswa dari kampus yang sama, dan memulai percakapan yang dianggap korban mengganggu.

Rekonstruksi juga menunjukkan bahwa Agus membujuk korban untuk mengikuti ritual "mandi suci" di sebuah penginapan. Korban mengaku terpaksa mengikuti arahan pelaku di bawah ancaman. Adegan-adegan ini menjadi penting dalam membangun narasi kasus dan memperkuat alat bukti.

Perselisihan Versi Kejadian

Kuasa hukum Agus, Ainuddin, mengklaim bahwa cekcok di penginapan dipicu oleh permintaan uang dari korban, yang tidak dapat dipenuhi oleh Agus. Di sisi lain, korban bersikeras bahwa Agus mengambil inisiatif untuk membuka pakaian menggunakan dagunya. Perbedaan versi ini menambah kerumitan kasus dan menuntut pengusutan fakta yang lebih cermat.

Jumlah Korban Terus Bertambah

Sejak laporan pertama, jumlah korban yang melaporkan Agus terus bertambah, hingga mencapai 15 orang. Empat di antaranya telah meminta perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sri Suparyati, Wakil Ketua LPSK, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap lambatnya proses hukum. Menurutnya, kesaksian korban yang seharusnya menjadi landasan utama belum diterapkan secara maksimal.

Polda NTB menetapkan Agus sebagai tersangka dengan ancaman hukuman hingga 12 tahun penjara atau denda maksimal Rp300 juta. Namun, Agus menjalani tahanan rumah karena fasilitas tahanan untuk penyandang disabilitas dinilai belum memadai. Langkah ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap hak tersangka.

Perspektif Hukum dan Stigma Sosial

Ketua Komisi Disabilitas Daerah NTB, Joko Jumadi, menekankan bahwa difabel tidak kebal hukum. Ia mengingatkan bahwa status disabilitas tidak seharusnya menjadi alasan untuk menghindari tanggung jawab pidana. Rainy Hutabarat dari Komnas Perempuan menambahkan bahwa kekerasan seksual tidak selalu dilakukan menggunakan tangan. "Pelaku dapat memanfaatkan anggota tubuh lain atau benda tertentu," ujarnya.

Namun, kasus ini juga menimbulkan kekhawatiran akan munculnya stigma baru terhadap kelompok difabel. Difabel sering kali diasosiasikan dengan kerentanan dan perlunya perlindungan. Jika difabel menjadi pelaku tindak pidana, muncul risiko generalisasi negatif yang dapat memperburuk diskriminasi.

Keberanian Korban Membuka Jalan

Kasus ini pertama kali terungkap berkat keberanian korban MA untuk melapor. Ia menceritakan peristiwa tersebut kepada teman dekatnya, yang kemudian mendorong korban lain untuk angkat bicara. Pola ancaman dan manipulasi yang digunakan pelaku menjadi pola umum dalam pengakuan para korban. Pendamping korban, Ade Latifa, menyebut bahwa pelaku memanfaatkan posisi rentan korban untuk melancarkan aksinya.

Pelajaran dari Kasus Agus Buntung

Kasus ini menjadi refleksi penting bagi masyarakat dan penegak hukum. Di satu sisi, hukum harus ditegakkan tanpa diskriminasi, memastikan bahwa keadilan berpihak pada korban. Di sisi lain, penanganan kasus ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menciptakan stigma baru terhadap difabel.

Keberanian para korban dalam melaporkan tindakan Agus adalah langkah besar dalam membongkar kejahatan yang sering kali tersembunyi. Sebagaimana salah satu korban mengatakan, “Untuk apa kami berbohong? Kami hanya ingin keadilan.”

Penutup

Kasus ini adalah pengingat bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa memandang latar belakang pelaku maupun korban. Pemerintah, masyarakat, dan komunitas advokasi harus bersatu untuk memastikan bahwa semua pihak, termasuk penyandang disabilitas, diperlakukan secara adil di hadapan hukum. Selain itu, penting bagi kita untuk membangun kesadaran kolektif bahwa kekerasan seksual, dalam bentuk apa pun, adalah pelanggaran serius yang tidak dapat ditoleransi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?