PENGADILAN UNTUK MENYELESAIKAN SERTIFIKAT GANDA: PERADILAN UMUM ATAU PTUN?

PENGADILAN UNTUK MENYELESAIKAN SERTIFIKAT GANDA: PERADILAN UMUM ATAU PTUN?

Oleh: Nurul Jannati Sapira

SERTIFIKAT GANDA

    Sertifikat ganda adalah keadaan ketika satu tanah memiliki lebih dari satu sertifikat dengan objek yang sama. Dalam satu area tanah, tidak boleh ada dua sertifikat yang berlaku. Keberadaan sertifikat ganda dapat menyebabkan sengketa antara pemegang sertifikat yang saling meyakini bahwa kepemilikan yang mereka miliki adalah benar. Meskipun pada akhirnya salah satu dari sertifikat tersebut palsu, di mana objek yang tercantum dalam sertifikat tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Untuk menyelesaikan masalah ini, salah satu pemegang sertifikat ganda dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Pertanahan Nasional.

        Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, BPN (Badan Pertanahan Nasional) memiliki kewenangan tunggal dalam menangani masalah pertanahan di Indonesia. BPN bertanggung jawab secara resmi dan menyeluruh terhadap pengelolaan pertanahan. Jika penyelesaian di BPN tidak berhasil, masalah dapat dibawa ke pengadilan. Pengadilan akan menentukan keabsahan sertifikat tanah dan membatalkan yang tidak sah, memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak tanah. Jika proses pembuktian di BPN tidak berhasil, penyelesaian dilanjutkan di pengadilan yang memiliki kompetensi. Pengadilan akan menghapus salah satu sertifikat, sehingga hanya sertifikat yang sah dengan objek sesuai yang akan berlaku.

Secara umum, penyelesaian sengketa pertanahan terutama terkait dengan sertifikat ganda dapat dilakukan melalui tiga cara:

a. Penyelesaian langsung oleh pihak yang bersengketa melalui musyawarah dilakukan di luar pengadilan, dengan atau  tanpa mediator. 

Biasanya dari pihak-pihak yang berpengaruh seperti Kepala Desa/Lurah, ketua adat, dan Badan Pertanahan Nasional. Salah satu syaratnya, sengketa tidak boleh tentang kepemilikan tanah yang dapat mencabut hak seseorang, dan pihak-pihak yang berselisih memiliki hubungan erat serta mematuhi hukum adat setempat.

b. Melalui arbitrase 

Perkara diselesaikan oleh arbiter berdasarkan kesepakatan pihak. Keputusan arbitrase mengikat dan final dengan syarat ada perjanjian tertulis yang disetujui semua pihak. Jika sudah ada klausula arbitrase dalam kontrak, pengadilan harus menunda proses sampai arbitrase selesai, dan harus menghormati keputusan arbiter.

c. Penyelesaian sengketa menggunakan lembaga peradilan. 

Menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia, biasanya sengketa pertanahan yang berkaitan dengan masalah kepemilikan dituntut di peradilan umum. Sengketa terkait keputusan Badan Pertanahan Nasional dihadapkan ke Peradilan Tata Usaha Negara, sementara sengketa yang melibatkan tanah wakaf diajukan ke Peradilan Agama.

Kemana Kita Mengajukan Penyelesaian Sertifikat Ganda? Apakah ke Peradilan Umum atau PTUN?

           Penyelesaian sengketa biasanya dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri, tergantung pada jenis kasusnya. Ada 2 bentuk sengketa:

            1. Jika yang menjadi pokok permasalahan sertifikat adalah soal “SAH” atau “ TIDAK”, maka harus mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

            2. Jika yang menjadi pokok permasalahan adalah soal “KEPEMILIKAN TANAH”, maka harus mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (Peradilan Umum).

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

        Dalam konteks PTUN, fokusnya terletak pada aspek prosedural, yaitu apakah penerbitan sertifikat sesuai dengan prosedur yang ditetapkan atau ada cacat hukum. PTUN memeriksa sengketa terkait dengan kecacatan baik dari segi prosedural maupun substantif yang terkait dengan urusan administratif, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Dalam Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Badan Pertanahan Nasional (BPN) berperan sebagai pihak yang mengeluarkan sertifikat ganda dan menjadi tergugat, sementara pihak pemegang sertifikat berperan sebagai tergugat intervensi.

            Ketika pembatalan dilakukan melalui PTUN, ada batas waktu untuk mengajukan gugatan, yaitu 90 hari setelah Surat Hak Milik dikeluarkan oleh BPN. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2009, pasal 134 menetapkan batas waktu yang sama untuk mengajukan gugatan setelah pembatalan melalui PTUN. Gugatan dapat diajukan di PTUN jika sertifikat ganda terjadi antara individu dan instansi, atau antara instansi dengan instansi. 

            Setiap orang atau instansi berhak untuk mengajukan gugatan jika terjadi tumpang tindih pada Surat Hak Milik tanah. Akan tetapi, ketika gugatan dikabulkan di PTUN dan sertifikat hak tersebut dibatalkan, belum tentu secara otomatis tanah tersebut menjadi hak milik pihak yang mengajukan gugatan. Untuk memperoleh status kepemilikan tanah, gugatan harus diajukan secara keperdataan di pengadilan umum, di mana yang diuji adalah status kepemilikan tanah sesuai dengan bukti-bukti yang ada.

Pengadilan Negeri atau Peradilan Umum

        Dalam sengketa di Pengadilan Negeri, pihak yang memiliki sertifikat dan BPN biasanya menjadi tergugat. Akan tetapi, jika terdapat sertifikat ganda yang melibatkan dua individu, gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri karena masalah kepemilikan berada dalam ranah hukum perdata. Contohnya termasuk sengketa batas, saling klaim, sengketa waris, atau penyerobotan tanah, di mana pengadilan memiliki wewenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

        Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara yang bersifat administratif, sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2020. Namun, jika terdapat cacat data yuridis, pengadilan negeri dapat menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum terhadap perkara yang berhubungan dengan hukum perdata. Misalnya sebelum sertifikat diterbitkan, alasan utamanya adalah kecurangan dalam surat jual beli, seperti tanda tangan palsu, harga yang tidak sesuai, atau kehadiran pihak yang tidak relevan yang menyebabkan terjadinya sertifikat ganda. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, ternyata ukurannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perjanjian dan syarat-syaratnya tidak sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata

        Oleh karena itu, ketika mengajukan pembatalan sertifikat di pengadilan negeri, petitum yang digunakan bukan membatalkan melainkan menyatakan sertifikat A tidak memiliki kekuatan hukum. Pengadilan Negeri memiliki kewenangan untuk menyatakan bahwa sertifikat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum karena prosesnya cacat hukum. Ini memungkinkan BPN untuk menerbitkan sertifikat baru. Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan sertifikat karena hal ini adalah wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara. Selama pihak yang menggugat dapat membuktikan bahwa sertifikat tersebut berasal dari proses yang cacat, baik secara yuridis formal maupun materiil, maka pembatalan sertifikat dapat dilakukan tanpa harus mengajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kesimpulan

        Perselisihan atas kepemilikan tanah bisa muncul akibat adanya sertifikat ganda, yang perlu diselesaikan dengan tindakan konkret. Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau melalui proses pengadilan. Ada tiga opsi untuk menyelesaikan sengketa, yaitu melalui musyawarah, arbitrase, atau proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Pengadilan Negeri. PTUN akan menangani aspek prosedural terkait sertifikat, sedangkan Pengadilan Negeri akan menangani sengketa kepemilikan tanah secara substansial. Gugatan harus diajukan ke PTUN jika terkait dengan keabsahan sertifikat, dan ke Pengadilan Negeri jika masalahnya berkaitan langsung dengan kepemilikan tanah.

Referensi

Herry Jaya Hartana,dkk "Penyelesaian Sengketa Sertipikat Ganda di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar".
Jurnal Analogi Hukum.Vol. 4, No.3, 2019
Diskusi Hukum "Sertifikat Ganda" Video Youtube, 3 Maret 2022,3:01 hingga 4:25, https://youtu.be/xpdFtW98S7w?si=cLxARb1L9Z759WWy  
Sembiring, J. J. (2011). No Title. Jakarta: Visimedia


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?