IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN
Pendahuluan
Cinta adalah konsep yang telah diperbincangkan sejak zaman kuno, salah
satunya oleh filsuf besar Yunani, Plato. Dalam karyanya The Symposium,
Plato menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang melampaui keindahan fisik,
membawa kita pada kontemplasi jiwa yang lebih mendalam dan radikal. Cinta dalam pandangan ini bersifat ideal dan
memuat esensi keindahan yang sejati.
Namun, konsep cinta yang dipaparkan Plato
tampaknya semakin sulit ditemukan dalam konteks modern. Perkembangan zaman
telah mengubah persepsi manusia tentang cinta, menggesernya dari keindahan
spiritual ke arah tujuan-tujuan yang lebih pragmatis dan materialistis.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah relevansi konsep cinta ideal ala
Plato mulai memudar di tengah kecenderungan manusia untuk memanfaatkan cinta
demi keuntungan pribadi?
Pengaruh Cinta dalam Perjanjian: Antara
Rasionalitas dan Ketergantungan Emosional
Jika kita melihat lebih jauh, cinta tidak
hanya menyentuh aspek keindahan dan hubungan pribadi, tetapi juga bisa
mempengaruhi aspek-aspek hukum, khususnya dalam perjanjian. Dalam dunia hukum,
perjanjian harus dibangun berdasarkan konsensualisme atau kesepakatan yang sah,
yang melibatkan kehendak bebas para pihak. Namun, bagaimana jika cinta justru
menjadi alat manipulasi dalam mencapai kesepakatan tersebut?
Cinta sering kali membawa ketergantungan
emosional yang kuat antara para pihak yang terlibat, membuat salah satu pihak
rentan dalam mempertimbangkan keputusan mereka. Ketergantungan ini bisa
melemahkan daya pikir logis dan rasionalitas seseorang, menciptakan kondisi di
mana pihak tersebut tidak lagi mampu menilai perjanjian secara obyektif.
Situasi ini berpotensi menimbulkan cacat kehendak dalam perjanjian, yang pada
gilirannya dapat menyebabkan perjanjian tersebut menjadi batal.
Relevansi Hukum Perdata: Apakah Cinta Bisa
Menyebabkan Cacat Kehendak?
Dalam hukum perdata Indonesia, Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian. Syarat tersebut
mencakup:
1. Kesepakatan Para Pihak: Adanya konsensus yang didasarkan pada
kehendak bebas.
2. Kecakapan Hukum: Para pihak harus mampu secara hukum untuk
membuat perjanjian.
3. Objek yang Diperjanjikan: Harus ada hal yang diperjanjikan.
4. Kausa yang Halal: Objek perjanjian harus sesuai dengan moral,
etika, dan hukum.
Salah satu syarat yang paling relevan
dengan konteks cinta adalah kesepakatan para pihak. Apabila kesepakatan dicapai
bukan berdasarkan kehendak bebas, tetapi karena adanya pengaruh emosional atau
ketergantungan yang menyebabkan cacat kehendak, maka perjanjian tersebut dapat
dianggap batal.
Cinta dapat menjadi faktor yang
memengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir rasional. Orang yang sedang
jatuh cinta cenderung mengutamakan perasaan dibandingkan logika, sehingga
rentan terhadap manipulasi. Dalam kondisi ini, jika salah satu pihak menggunakan
cinta untuk mengambil keuntungan, perjanjian tersebut bisa dikategorikan
sebagai cacat kehendak. Cacat ini dapat berujung pada pembatalan perjanjian
karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian secara subjektif.
Penyalahgunaan Keadaan: Aspek Hukum dalam
Cinta dan Perjanjian
Penyalahgunaan keadaan, yang merupakan
salah satu bentuk cacat kehendak, terjadi ketika salah satu pihak memanfaatkan
kondisi rentan pihak lain untuk mendapatkan keuntungan. Dalam konteks cinta,
ketergantungan emosional bisa menjadi alat bagi salah satu pihak untuk
memperoleh keuntungan dalam perjanjian, sehingga melanggar prinsip itikad baik.
Dalam hubungan cinta, apabila salah satu
pihak sengaja memanfaatkan ketergantungan emosional pasangannya untuk
menciptakan perjanjian yang hanya menguntungkan dirinya, maka perjanjian
tersebut dapat dianggap sebagai cacat secara hukum. Akibatnya, perjanjian
tersebut dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat kesepakatan yang sah.
Kesimpulan
Cinta adalah fenomena yang kompleks dan
bisa memengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk dalam konteks hukum.
Sementara Plato menggambarkan cinta sebagai keindahan ideal yang menghubungkan
kita dengan nilai-nilai spiritual yang tinggi, di era modern cinta sering kali
menjadi sarana manipulasi dalam hubungan dan perjanjian. Ketergantungan
emosional yang ditimbulkan oleh cinta dapat mengaburkan rasionalitas,
menciptakan kondisi di mana cacat kehendak terjadi.
Oleh karena itu, relevansi konsep cinta
dalam hukum perjanjian tidak bisa diabaikan. Cinta yang digunakan sebagai alat
untuk memperoleh keuntungan sepihak dalam perjanjian merupakan bentuk
penyalahgunaan keadaan, yang pada akhirnya bisa menyebabkan perjanjian tersebut
dianggap batal.
---------------------
Berdasarkan Opini Pribadi Penulis
Jurnal: Dandy Ayub Prasetyo. "Cinta dalam Perspektif Plato dan Implikasinya dalam Kontrak Hukum: Antara Keindahan Ideal dan Manipulasi Modern." Jurnal Idee des Rechts, vol. 1, no. 1, Agustus 2024, Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik, Universitas Mataram.
Komentar
Posting Komentar