IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Oleh: Dandy Ayub Prasetyo

Pendahuluan

Cinta adalah konsep yang telah diperbincangkan sejak zaman kuno, salah satunya oleh filsuf besar Yunani, Plato. Dalam karyanya The Symposium, Plato menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang melampaui keindahan fisik, membawa kita pada kontemplasi jiwa yang lebih mendalam dan radikal. Cinta dalam pandangan ini bersifat ideal dan memuat esensi keindahan yang sejati.

 

Namun, konsep cinta yang dipaparkan Plato tampaknya semakin sulit ditemukan dalam konteks modern. Perkembangan zaman telah mengubah persepsi manusia tentang cinta, menggesernya dari keindahan spiritual ke arah tujuan-tujuan yang lebih pragmatis dan materialistis. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah relevansi konsep cinta ideal ala Plato mulai memudar di tengah kecenderungan manusia untuk memanfaatkan cinta demi keuntungan pribadi?

 

Pengaruh Cinta dalam Perjanjian: Antara Rasionalitas dan Ketergantungan Emosional

Jika kita melihat lebih jauh, cinta tidak hanya menyentuh aspek keindahan dan hubungan pribadi, tetapi juga bisa mempengaruhi aspek-aspek hukum, khususnya dalam perjanjian. Dalam dunia hukum, perjanjian harus dibangun berdasarkan konsensualisme atau kesepakatan yang sah, yang melibatkan kehendak bebas para pihak. Namun, bagaimana jika cinta justru menjadi alat manipulasi dalam mencapai kesepakatan tersebut?

 

Cinta sering kali membawa ketergantungan emosional yang kuat antara para pihak yang terlibat, membuat salah satu pihak rentan dalam mempertimbangkan keputusan mereka. Ketergantungan ini bisa melemahkan daya pikir logis dan rasionalitas seseorang, menciptakan kondisi di mana pihak tersebut tidak lagi mampu menilai perjanjian secara obyektif. Situasi ini berpotensi menimbulkan cacat kehendak dalam perjanjian, yang pada gilirannya dapat menyebabkan perjanjian tersebut menjadi batal.

 

Relevansi Hukum Perdata: Apakah Cinta Bisa Menyebabkan Cacat Kehendak?

Dalam hukum perdata Indonesia, Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat tersebut mencakup:

1.     Kesepakatan Para Pihak: Adanya konsensus yang didasarkan pada kehendak bebas.

2.     Kecakapan Hukum: Para pihak harus mampu secara hukum untuk membuat perjanjian.

3.     Objek yang Diperjanjikan: Harus ada hal yang diperjanjikan.

4.     Kausa yang Halal: Objek perjanjian harus sesuai dengan moral, etika, dan hukum.

 

Salah satu syarat yang paling relevan dengan konteks cinta adalah kesepakatan para pihak. Apabila kesepakatan dicapai bukan berdasarkan kehendak bebas, tetapi karena adanya pengaruh emosional atau ketergantungan yang menyebabkan cacat kehendak, maka perjanjian tersebut dapat dianggap batal.

 

Cinta dapat menjadi faktor yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir rasional. Orang yang sedang jatuh cinta cenderung mengutamakan perasaan dibandingkan logika, sehingga rentan terhadap manipulasi. Dalam kondisi ini, jika salah satu pihak menggunakan cinta untuk mengambil keuntungan, perjanjian tersebut bisa dikategorikan sebagai cacat kehendak. Cacat ini dapat berujung pada pembatalan perjanjian karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian secara subjektif.

 

Penyalahgunaan Keadaan: Aspek Hukum dalam Cinta dan Perjanjian

Penyalahgunaan keadaan, yang merupakan salah satu bentuk cacat kehendak, terjadi ketika salah satu pihak memanfaatkan kondisi rentan pihak lain untuk mendapatkan keuntungan. Dalam konteks cinta, ketergantungan emosional bisa menjadi alat bagi salah satu pihak untuk memperoleh keuntungan dalam perjanjian, sehingga melanggar prinsip itikad baik.

Dalam hubungan cinta, apabila salah satu pihak sengaja memanfaatkan ketergantungan emosional pasangannya untuk menciptakan perjanjian yang hanya menguntungkan dirinya, maka perjanjian tersebut dapat dianggap sebagai cacat secara hukum. Akibatnya, perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat kesepakatan yang sah.

 

Kesimpulan

Cinta adalah fenomena yang kompleks dan bisa memengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk dalam konteks hukum. Sementara Plato menggambarkan cinta sebagai keindahan ideal yang menghubungkan kita dengan nilai-nilai spiritual yang tinggi, di era modern cinta sering kali menjadi sarana manipulasi dalam hubungan dan perjanjian. Ketergantungan emosional yang ditimbulkan oleh cinta dapat mengaburkan rasionalitas, menciptakan kondisi di mana cacat kehendak terjadi.

 

Oleh karena itu, relevansi konsep cinta dalam hukum perjanjian tidak bisa diabaikan. Cinta yang digunakan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan sepihak dalam perjanjian merupakan bentuk penyalahgunaan keadaan, yang pada akhirnya bisa menyebabkan perjanjian tersebut dianggap batal.


---------------------

Berdasarkan Opini Pribadi Penulis

Jurnal: Dandy Ayub Prasetyo. "Cinta dalam Perspektif Plato dan Implikasinya dalam Kontrak Hukum: Antara Keindahan Ideal dan Manipulasi Modern." Jurnal Idee des Rechts, vol. 1, no. 1, Agustus 2024, Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik, Universitas Mataram.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?