REKONSTRUKSI PERBEDAAN AGAMA SEBAGAI HALANGAN WARIS: APAKAH BOLEH SEORANG AHLI WARIS NON MUSLIM MENDAPATKAN HAK WARIS DARI PEWARIS MUSLIM ?
Pendahuluan
Hukum Islam memiliki cakupan yang luas, mencakup aturan hubungan manusia dengan Allah SWT hingga aturan hubungan antar sesama manusia. Salah satu aspek penting dalam hubungan antar manusia adalah hukum kewarisan, yang mengatur proses peralihan kepemilikan harta dari pewaris kepada ahli warisnya. Islam, melalui Al-Qur'an, Hadis, dan ijma' ulama, telah memberikan panduan rinci tentang siapa yang berhak menerima warisan, berapa bagiannya, dan bagaimana cara pembagiannya.
Namun, dalam masyarakat yang majemuk dengan beragam agama, masalah kewarisan menjadi lebih kompleks ketika terdapat perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: apakah seorang ahli waris non-Muslim dapat menerima warisan dari pewaris Muslim?
A. Perbedaan Agama Sebagai Halangan Waris dalam Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perbedaan agama tidak secara eksplisit disebutkan sebagai halangan untuk menerima warisan. Berdasarkan Pasal 173 KHI, hanya terdapat dua alasan yang menghalangi seseorang untuk menerima warisan:
- Dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
- Memfitnah pewaris dengan kejahatan yang ancamannya lima tahun penjara atau lebih.
Hal ini berbeda dengan pandangan fikih konvensional yang menyatakan bahwa perbedaan agama merupakan halangan untuk saling mewarisi. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:
"Orang Islam tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang Islam."
Atas dasar ini, mayoritas ulama sepakat bahwa perbedaan agama menghalangi warisan antara Muslim dan non-Muslim."
Namun, pandangan ini menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya dalam masyarakat modern yang mengedepankan nilai keadilan universal. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pengadilan agama mempertimbangkan alternatif lain untuk memberikan hak kepada ahli waris non-Muslim tanpa melanggar prinsip-prinsip hukum Islam.
B. Wasiat Wajibah sebagai Solusi dalam Mengatasi Halangan Waris Akibat Perbedaan Agama
Konsep wasiat wajibah menjadi solusi penting dalam kasus perbedaan agama sebagai halangan waris. Wasiat wajibah adalah pembebanan oleh hakim agar harta peninggalan pewaris yang tidak membuat wasiat secara sukarela, diberikan kepada pihak tertentu dalam kondisi tertentu.
Mahkamah Agung (MA) telah mengadopsi konsep ini dalam beberapa putusan, di antaranya:
- Putusan No. 368 K/AG/1995: Seorang anak kandung perempuan non-Muslim diberikan warisan melalui wasiat wajibah setara dengan bagian ahli waris perempuan.
- Putusan No. 51 K/AG/1999: Anak non-Muslim menerima bagian warisan yang sama dengan anak Muslim melalui wasiat wajibah.
- Putusan No. 16 K/AG/2010: Mempertegas hak ahli waris non-Muslim melalui wasiat wajibah.
Melalui putusan-putusan ini, wasiat wajibah memberikan hak kepada ahli waris non-Muslim, meskipun bukan dalam kapasitas sebagai ahli waris langsung. Bagian maksimal yang diberikan melalui wasiat wajibah adalah 1/3 dari harta peninggalan pewaris.
Namun, penerapan wasiat wajibah ini tetap memiliki tantangan, terutama terkait pengaruhnya terhadap bagian warisan yang diterima oleh ahli waris lainnya. Jika ahli waris non-Muslim hanya mendapatkan hak melalui wasiat wajibah, maka pembagian harta kepada ahli waris Muslim tetap sesuai dengan ketentuan syariat, yaitu proporsi yang telah ditetapkan untuk żawī al-furūḑ atau ‘asabah.
Kesimpulan
Perbedaan agama menjadi salah satu halangan dalam kewarisan menurut mayoritas ulama, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW. Namun, hukum Islam melalui konsep wasiat wajibah telah memberikan solusi yang memungkinkan ahli waris non-Muslim tetap menerima bagian dari harta pewaris Muslim.
Putusan Mahkamah Agung dalam beberapa kasus telah memperkuat posisi wasiat wajibah sebagai jalan tengah untuk menjaga prinsip keadilan tanpa melanggar syariat Islam. Dengan demikian, perbedaan agama tidak lagi sepenuhnya menjadi penghalang bagi seorang ahli waris non-Muslim untuk mendapatkan haknya.
Konsep ini menunjukkan bahwa hukum Islam memiliki fleksibilitas untuk menjawab tantangan dinamika sosial dalam masyarakat modern. Solusi yang ditawarkan melalui wasiat wajibah mencerminkan usaha menciptakan keadilan yang tidak hanya sesuai dengan syariat, tetapi juga relevan dengan konteks keadilan universal di masyarakat majemuk.
Referensi
- Imron Rosyadi, 2022, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Keluarga Islam, Jakarta: Prenadamedia Group
- Riyanta, 2020, Hubungan Muslim dan Non-Muslim dalam Kewarisan: Dinamika Pemikiran Fiqih Klasik Menuju Fiqh Indonesia Modern, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta
- Dwi Sartika Paramyta, Salman Alfarisi, 2023, Hak Waris Antara Para Ahli Waris yang Berbeda Agama dengan Pewaris Menurut Hukum Waris Islam, Lex Lectio: Jurnal Kajian Hukum Volume 02 No.1
- Nurhadi Abdul Gani, 2017, Wasiat Wajibah Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010), Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2
- Agus Sahbani, 2021, Seluk Beluk Hukum Keluarga: Mengulas Polemik Wasiat Wajibah untuk Ahli Waris Beda Agama, hukumonline.com/berita/a/mengulas-polemik-wasiat-wajibah-untuk-ahli-waris-beda-agama-lt609b72a619682/?page=3
Dasar Hukum
- Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 173 dan Pasal 209
- Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 51 K/Ag/1999; No. 368 K/AG/1995;
- No. 16 K/AG/2010
Komentar
Posting Komentar