Laki-Laki Juga Korban: Sampai Kapan Stereotip Gender Menutupi Fakta Kekerasan Seksual?

Nurul Jannati Sapira

Di balik tirai stigma dan keheningan, ribuan laki-laki di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual setiap tahunnya. Sayangnya, mereka terperangkap dalam sistem yang lebih sering menuduh mereka lemah daripada memberikan perlindungan. Stereotip gender telah lama menciptakan pandangan keliru bahwa laki-laki harus selalu kuat dan mustahil menjadi korban.

Definisi dan Bentuk Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual, baik fisik maupun nonfisik, merupakan tindakan yang menargetkan seksualitas korban. Menurut Rafli (2022), kejahatan ini melibatkan berbagai lapisan masyarakat dan terus berkembang seiring kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Bentuk pelecehan seksual meliputi catcalling, sentuhan tidak diinginkan, atau ucapan bernuansa seksual. Dampaknya pun beragam, mulai dari ketidaknyamanan psikologis hingga masalah kesehatan.

Meski Pasal 281 hingga 298 KUHP tidak secara eksplisit menyebutkan istilah "pelecehan seksual," Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah mengakui pelecehan fisik maupun nonfisik sebagai tindak pidana. Pasal 6 ayat (1) UU TPKS menetapkan hukuman hingga 4 tahun penjara atau denda Rp50 juta untuk pelaku pelecehan seksual fisik. Dalam kasus yang memenuhi unsur perbuatan cabul (Pasal 289 KUHP), hukuman dapat mencapai 9 tahun penjara.

Korban Laki-Laki: Realitas yang Tersamarkan
Kekerasan seksual sering menjadi berita utama, tetapi perhatian publik cenderung terfokus pada korban perempuan. Fakta bahwa laki-laki juga dapat menjadi korban masih dianggap tabu. Data tahun 2024 mencatat bahwa dari 16.839 kasus kekerasan seksual, 3.597 melibatkan laki-laki. Meski jumlah ini signifikan, perhatian terhadap korban laki-laki jauh dari memadai.

Sistem hukum Indonesia, yang masih dipengaruhi pandangan patriarkis, cenderung melihat laki-laki sebagai pelaku, bukan korban. Budaya patriarki dan toxic masculinity menekan laki-laki untuk diam, bahkan ketika mereka menjadi korban. Stigma ini membuat mereka mengalami dua bentuk trauma: kekerasan itu sendiri dan kegagalan sistem dalam memberikan dukungan.

Memahami Perspektif Gender dan Keadilan
Teori performativitas Queer oleh Judith Butler mengungkap bahwa identitas seksual adalah konstruksi sosial yang fleksibel. Teori ini menolak pandangan patriarki yang kaku dan memaksa individu mengikuti peran gender tertentu. Perspektif ini relevan dalam memahami bagaimana stereotip maskulinitas telah memenjarakan banyak laki-laki korban kekerasan seksual.

Konstitusi Indonesia menjamin kesetaraan hukum, tetapi peraturan yang bias gender memperlebar ketidaksetaraan ini. Kesetaraan gender tidak hanya berarti pembagian peran yang setara, tetapi juga akses, partisipasi, dan perlindungan yang adil bagi semua pihak (Ch, 2006). Affirmative action dibutuhkan untuk memperbaiki ketimpangan ini, termasuk kebijakan yang lebih empatik dalam penegakan hukum.

Langkah Menuju Perubahan
Metode LIVES (Listening, Inquiring, Validate, Enhancing Safety, Support) adalah salah satu pendekatan untuk memastikan korban didengar dan diberi perlindungan yang sama tanpa memandang gender. Karena trauma tidak mengenal gender, setiap korban kekerasan seksual memiliki hak yang sama untuk pulih dan merasa aman.

Bersama Korban, Kami Melawan
Membongkar stereotip gender yang menutupi fakta kekerasan seksual adalah langkah pertama dalam menciptakan keadilan yang inklusif. Setiap suara berharga, dan setiap cerita layak didengar. Baik laki-laki maupun perempuan, semua korban berhak mendapatkan perlindungan, perhatian, dan dukungan.

Referensi lengkap dapat ditemukan dalam daftar pustaka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?