Perlukah Menyamarkan Wajah Pelaku Tindak Pidana?
Apakah ada dasar hukum yang mengharuskan media menyamarkan wajah pelaku tindak pidana? Jawabannya tidak ada. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman hukum acara, pada Bab VI yang mengatur tentang hak-hak tersangka, tidak memiliki satu pasal pun yang secara eksplisit melarang atau mengharuskan menyamarkan identitas tersangka, termasuk inisial nama pelaku. Namun, media sering kali menyamarkan identitas tersangka berdasarkan asas praduga tak bersalah, di mana seorang tersangka tidak boleh dijatuhi hukuman sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan dirinya bersalah. Penyembunyian identitas pelaku bertujuan menjaga kehormatan dan martabat mereka sebagai manusia.
Asas praduga tak bersalah terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Penjelasan Umum KUHAP pada butir 3 huruf ©. Pasal 1 KUHP berbunyi, “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.” Penjelasan Umum KUHAP butir 3 huruf © menyatakan, “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya suatu putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Asas ini merupakan bentuk perlindungan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia yang hakiki.
Sebagai negara hukum, Indonesia mengatur hak asasi manusia melalui Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perlindungan terhadap hak asasi ini menjadi landasan bagi media untuk menyamarkan identitas pelaku tindak pidana.
Perlakuan Terhadap Korban Namun, bagaimana dengan korban? Apakah mereka juga mendapatkan perlakuan yang sama? Seringkali, media menampilkan rekaman video tindak pidana dengan menyamarkan wajah pelaku, sementara wajah korban terpampang jelas tanpa disamarkan. Contohnya, dalam kasus pelecehan terhadap wanita yang sedang beribadah di musala Jatinegara. Dalam rekaman CCTV yang beredar, wajah korban terlihat jelas tanpa disamarkan. Atau kasus JA, seorang anak yang menjadi korban pelecehan seksual dan mengidap HIV. Pengasuh JA (Fortune Community) sampai memohon kepada media dan pengguna media sosial untuk menghapus foto korban.
Kami melihat ada foto JA di sosmed yang diposting tanpa diblur (kabur). Kami memohon agar dihapus karena menyangkut masa depan anak itu,” terang Perwakilan Tim Fortune Community Sriwati Liyen didampingi oleh Sella dan Limei Chenz, Rabu (21/9/2022).
Bahkan ada oknum yang mempublikasikan alamat dan nama keluarga korban. Hal ini sangat disayangkan, mengingat korban adalah seorang anak yang masih memiliki masa depan.
Dalam situasi ini, bukankah lebih pantas untuk tidak menyembunyikan identitas pelaku? Selain tidak ada aturan yang mengatur bahwa pelaku kejahatan harus disamarkan wajahnya, hal ini juga dapat menimbulkan efek jera berupa sanksi sosial bagi pelaku. Bagi beberapa korban, terutama yang menjadi korban pelecehan seksual, kejahatan yang mereka alami bagaikan sebuah aib. Tentu saja mereka tidak menginginkan hal tersebut dipublikasikan.
Perlindungan Privasi Korban Mendapatkan perlindungan hukum adalah salah satu hak paling mendasar yang harus dipenuhi negara terhadap seluruh warga negaranya. Di era teknologi yang canggih seperti sekarang, jejak digital tidak mudah hilang. Masyarakat dapat mengakses berita dengan mudah, bahkan berita yang telah terjadi bertahun-tahun lalu. Kemudahan akses ini bisa menjadi bumerang jika terus diabaikan.
Pemerintah seharusnya mempertimbangkan untuk membuat regulasi yang melindungi privasi korban tindak kejahatan. Setelah regulasi disahkan, pemerintah harus mengawasi media, baik tulisan seperti website atau blog, maupun media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya. Perlindungan privasi korban harus menjadi prioritas agar tidak ada lagi korban yang merasa aib mereka dipublikasikan secara tidak adil.
Sehingga disini dalam pemberitaan tindak pidana, perlu ada keseimbangan antara melindungi identitas pelaku dan korban. Asas praduga tak bersalah mengharuskan media menyamarkan identitas pelaku untuk menjaga martabat mereka. Namun, perlindungan privasi korban juga harus menjadi prioritas. Pemerintah harus segera merumuskan regulasi yang jelas untuk melindungi privasi korban dan memastikan media mematuhi aturan tersebut. Hanya dengan cara ini kita bisa menghormati hak asasi manusia dan memberikan perlindungan yang adil bagi semua pihak.
Komentar
Posting Komentar