APAKAH UNDANG-UNDANG TELAH MELINDUNGI HAK ASASI HEWAN?

 

Oleh: Kayla Aisha Nugroho dan Queen Rania Abdullah

Dalam beberapa dekade terakhir, tren memiliki hewan peliharaan atau anabul (anak bulu) mengalami peningkatan pesat, terutama selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Berdasarkan riset, minat pencarian terhadap hewan peliharaan meningkat 88% dari tahun 2019 hingga mencapai total 419 ribu pencarian pada 2021. Minat pencarian terhadap kucing mencapai 4,6 juta pencarian, sementara anjing mencapai 2,1 juta pencarian di Indonesia. Popularitas ini disebabkan oleh kemampuan hewan berbulu untuk mengusir rasa kesepian para pemilik yang harus menghabiskan banyak waktu di rumah tanpa interaksi dengan orang lain selama PSBB.

Namun, di balik meningkatnya popularitas hewan peliharaan, hak asasi hewan masih menjadi isu yang kurang terdengar di Indonesia. Padahal, di dunia internasional, hak asasi hewan telah menjadi topik serius. Melalui United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), dunia internasional telah mengeluarkan Universal Declaration of Animal Rights (UDHR), atau Deklarasi Universal Hak Asasi Hewan. Menurut Pasal 1 UDHR, “all animals are born equal and they have the same rights to existence,” yang artinya semua hewan terlahir sama dan memiliki hak esensial, yaitu kesetaraan hak untuk hidup.

Sayangnya, kasus kekerasan dan penyiksaan hewan di Indonesia semakin sering terjadi. Pesatnya perkembangan media sosial menambah daftar panjang kasus kekerasan dan penyiksaan hewan. Para pelaku sering kali mengunggah video kekerasan pada hewan di media sosial untuk memancing gelak tawa atau reaksi netizen. Ironisnya, Indonesia merupakan peringkat pertama sebagai negara dengan konten kekerasan dan penyiksaan hewan terbanyak. Menurut Asia for Animals Coalition, sebanyak 1.626 kasus dari 5.480 konten penyiksaan hewan pada 2022 berasal dari Indonesia.

Rendahnya empati terhadap makhluk lain menunjukkan adanya masalah kesehatan mental yang mendasari. Perilaku kekerasan terhadap hewan biasanya muncul sejak masa kanak-kanak dan sering luput dari perhatian orang dewasa. Jika tidak ditangani, perilaku ini dapat berkembang menjadi gangguan kepribadian antisosial atau psikopat. Seseorang yang sering melakukan kekejaman pada hewan memiliki kemungkinan besar untuk melakukan kekejian pada manusia. Contohnya adalah kasus Scarlett Blake (26) yang membunuh seorang pria di Oxford setelah ia membunuh seekor kucing dengan cara diblender hidup-hidup.

Tingginya angka kekerasan dan penyiksaan hewan di Indonesia juga terkait dengan rendahnya kesadaran masyarakat akan kesejahteraan hewan. Indonesia sudah memiliki peraturan yang mengatur larangan dan sanksi bagi pelaku penyiksaan hewan, yaitu pada Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan.

a.     Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya.

b.     Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.

3. Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.

4. Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.

Perlindungan hukum terhadap hewan di Indonesia juga diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 2014. Dalam Pasal 66 UU No. 18 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap orang dilarang menyiksa dan/atau menganiaya hewan, baik secara fisik maupun non-fisik.

Selain itu, konstitusi Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar 1945, mengamanatkan dalam Pasal 28A dan Pasal 28G tentang hak untuk hidup dan hak atas perlindungan diri, yang dapat diinterpretasikan sebagai landasan moral untuk memperluas perlindungan terhadap semua makhluk hidup, termasuk hewan.

 

Bagaimana Wujud Implementasi UU Perlindungan Hewan di Indonesia?

Meskipun Indonesia telah memiliki berbagai peraturan yang mengatur perlindungan hewan, implementasi dan penegakannya masih jauh dari sempurna. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam implementasi UU Perlindungan Hewan di Indonesia antara lain:

Pertama, Banyak masyarakat yang belum menyadari pentingnya kesejahteraan hewan dan masih menganggap remeh perlindungan hak asasi hewan. Edukasi dan sosialisasi mengenai hak-hak hewan perlu ditingkatkan untuk mengubah persepsi masyarakat. Kedua, Kasus-kasus penyiksaan hewan sering kali tidak ditangani dengan serius oleh penegak hukum. Sanksi yang diberikan juga relatif ringan dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Ketiga, Kurangnya sumber daya baik dari segi jumlah petugas maupun fasilitas yang mendukung penegakan hukum terhadap penyiksaan hewan membuat implementasi UU tidak berjalan maksimal. Keempat, Beberapa praktik penyiksaan hewan masih dianggap sebagai bagian dari budaya atau tradisi, sehingga sulit untuk dihapuskan tanpa adanya pendekatan yang sensitif terhadap budaya setempat.

Dengan demikian, adanya Undang-Undang Perlindungan Hewan merupakan langkah awal yang baik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menghargai hak asasi makhluk lain dan mengedukasi masyarakat untuk mencintai dan menyayangi sesama makhluk hidup. Namun, diperlukan upaya lebih lanjut untuk memastikan implementasi yang efektif, termasuk peningkatan edukasi, penegakan hukum yang tegas, dan penyediaan sumber daya yang memadai. Dengan demikian, diharapkan angka kekerasan terhadap hewan di Indonesia dapat menurun dan menciptakan lingkungan yang lebih harmonis antara manusia dan hewan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?