MENGGAGAS KEBIJAKAN DAN MENGOPTIMALKAN DUKUNGAN SUAMI MELALUI KEBIJAKAN CUTI PERSALINAN
Menggagas Kebijakan dan Mengoptimalkan Dukungan Suami Melalui Kebijakan Cuti Persalinan
Oleh: Sarah Rachel Syahida
University of Mataram Faculty of Law, Social Sciences and Politics
Abstract:
A husband’s involvement during labor and post-natal care is a very important factor in supporting the health and well-being of mother and baby, as well as strengthening family bonds. However, in several countries, especially Indonesia, inequality in maternity leave rights between husbands and wives is still a challenge that must be overcome. In this article, we will explain the importance of the policy of granting husbands longer leave rights during the birth period by evaluating the positive impact of husbands' involvement during labor and post-natal care, as well as analyzing the challenges faced by husbands who do not receive adequate leave, as well as supporting the importance of expanding leave rights for husbands in the context of the birth of a child and emphasizing the need for policies that support a balance between the roles of fathers and mothers in caring for newborn children and in maintaining the welfare of the family as a whole and as a whole.
Keywords: Husband, Childbirth, Leave rights.
Introduction:
Temuan penelitian mengungkapkan bahwa dukungan pasangan selama dan setelah kehamilan memainkan peran penting dalam kesehatan ibu dan persalinan yang aman. Terungkap bahwa wanita yang tinggal jauh dari pasangannya memiliki masalah kesehatan tertentu selama kehamilan. Permasalahan tersebut antara lain pendarahan vagina, muntah berlebihan, sakit dada, batuk, tekanan darah tinggi, pertambahan berat badan berlebihan, dan lain sebagainya. Hal ini juga menimbulkan komplikasi dan gangguan kesehatan pada masa nifas yang disebabkan kurangnya pelayanan dari pasangannya selama persalinan.
Adapun terkait dengan berita yang beberapa waktu belakangan ini muncul dari dunia pernerbangan Indonesia, pilot dan co-pilot dari maskapai penerbangan Batik-Air yang diketahui tertidur selama 28 menit saat flight Kendari-Soetta dan berdasarkan laporan investigasi KNKT, alasan co-pilot tertidur adalah karena kelelahan usai membantu istrinya merawat anak kembarnya yang baru berusia satu bulan.
Hal ini memperjelas kurangnya pemberian hak cuti yang sesuai bagi suami dan mendorong betapa pentingnya penerapan kebijakan pemberian cuti yang setara kepada suami selama masa persalinan dan pasca-melahirkan.
Discussion:
1. Manfaat Keterlibatan Suami Selama Masa Persalinan
Kehadiran suami sebagai pendamping selama persalinan memberikan dukungan emosional yang sangat penting bagi istri dimana suami dapat memberikan dukungan moral, ketenangan, dan kenyamanan kepada istri saat menghadapi tantangan dan rasa sakit selama masa persalinan. Adapun hal ini akan memudahkan pasangan suami dan istri untuk menentukan jenis perawatan yang akan dijalani. Mereka dapat berdiskusi tentang pilihan perawatan medis, strategi kelahiran, dan keputusan penting lainnya yang perlu dibuat selama proses persalinan. Selain itu, suami dapat berpartisipasi aktif dalam perawatan istri selama persalinan dengan membantu dalam pergerakan, posisi yang nyaman, memberikan pijatan atau dukungan fisik lainnya.
Beberapa studi juga menyatakan bahwa kehadiran suami saat masa persalinan dapat meningkatkan kepercayaan diri baik bagi suami maupun bagi istri. Melihat istri melalui pengalaman persalinan dan memberikan dukungan yang dibutuhkan dapat memberikan perasaan pencapaian dan kebanggaan yang kuat serta membuat suami merasakan menjadi bagian dari momen yang penuh makna dalam kehidupan keluarganya.
Adapun dari sudut pandang psikolog anak, remaja, dan keluarga, disampaikan bahwa cuti bagi ayah sangat diperlukan agar seorang suami mampu leluasa mendampingi istri saat persalinan. Begitu juga ketika bayi sudah lahir dan membutuhkan perhatian serta perawatan, suami diharapkan mampu meringankan beban istri dengan bekerja sama dalam mengerjakan berbagai hal. Dengan begitu, keterlibatan suami selama masa persalinan tidak hanya memberikan manfaat bagi kesehatan fisik dan emosional ibu, tetapi juga menguatkan ikatan keluarga dan mempersiapkan kedua orangtua untuk peran orangtua yang aktif dan mendukung setelah kelahiran bayi.
2. Akibat Suami yang Tidak Mendapat Cuti Memadai Saat Istri Melahirkan
Suami yang tidak mendapat cuti yang memadai akan menghadapi keterbatasan waktu untuk mendampingi istri selama proses persalinan dan pasca-melahirkan dimana mereka berkewajiban kembali bekerja se segera mungkin. Akibatnya, tumbul perasaan cemas dan stres dalam membagi perhatian antara pekerjaan dan keluarga. Hal ini juga mengakibatkan keterbatasan dukungan emosional bagi istri dan menimbulkan perasaan bersalah atau khawatir bagi suami karena tidak bisa memberikan dukungan yang dibutuhkan kepada istri dalam momen-momen penting ini sehingga dikhawatirkan, hal ini dapat mengakibatkan kelelahan fisik dan emosional yang kemudian meningkatkan risiko timbulnya konflik antara suami dan istri.
Selain itu, suami yang tidak mendapat cuti yang memadai dapat kehilangan kesempatan untuk terlibat dalam perawatan anak yang baru lahir serta tidak dapat membangun ikatan yang kuat dengan bayi mereka sejak awal, yang dapat memengaruhi hubungan orangtua-anak dan keterlibatan suami dalam peran orangtua.
Tantangan-tantangan ini menyoroti pentingnya kebijakan cuti persalinan yang memadai bagi suami untuk memastikan keterlibatan mereka selama proses persalinan dan pasca-melahirkan.
3. Pengalaman Negara-Negara yang Menerapkan Kebijakan Cuti
• Finlandia
Di Finlanndia, seorang laki-laki yang telah menjadi ayah berhak diberikan kesempatan untuk mengambil cuti selama 54 hari untuk meluangkan waktu bagi istri dan bayinya. Sementara sang ibu berhak mengambil cuti selama 105 hari. Selama kurun waktu tersebut, keduanya tetap mendapatkan gaji meski tengah dalam keadaan cuti. Setelah mengambil cuti hamil, sang ayah ataupun ibu juga berhak mendapatkan cuti selama 158 hari kerja dan tetap mendapatkan gaji.
Inisiasi ini berperan menurunkan angka kematian ibu di Finlandia. Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 2013, Finlandia menduduki posisi ketiga sebagai negara dengan tingkat kematian bayi terendah. Data tersebut menunjukkan bahwa hanya terjadi dua kasus kematian bayi dalam setiap seribu bayi yang lahir dengan selamat.
• Swedia
Adapun di swedia, orang tua yang memiliki anak yang baru lahir, diberikan kesempatan cuti berbayar selama 480 hari. Bahkan, waktu cuti yang telah diberikan selama kurun waktu yang panjang tersebut dapat terus diberlakukan hingga sang anak berusia 8 tahun. Hal ini didasari oleh pemerintah swedia yang percaya bahwa sangat dibutuhkannya kedekatan dan pendampingan orang tua hingga anak berusia delapan tahun.
• Islandia
Islandia adalah salah satu negara yang memiliki kebijakan cuti yang paling inklusif di dunia. Negara ini menawarkan cuti yang panjang dan fleksibel bagi kedua orangtua, dengan insentif tambahan bagi orangtua yang membagi cuti secara merata. Kebijakan ini telah berhasil meningkatkan keterlibatan ayah dalam perawatan anak dan mengurangi kesenjangan gender di tempat kerja.
Dan beberapa negara lainnya yang juga turut memberikan hak dan kesempatan cuti yang memadai bagi suami dan istri untuk memaksimalkan perawatan dan keterlibatan orang tua dalam mengasuh anak dan mengurangi konflik dalam keluarga.
4. Pengembangan dan Pemerataan Kebijakan Oleh Pemerintah
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung keterlibatan suami selama masa persalinan dan pasca-melahirkan. Hal ini meliputi penentuan durasi cuti yang memadai bagi suami, pengaturan insentif keuangan bagi orangtua yang mengambil cuti, serta penyediaan fleksibilitas dalam penggunaan cuti.
Di Indonesia, cuti melahirkan bagi suami ini telah diperbincangkan sejak tahun 2017. Usulan terkait cuti pendampingan bagi suami tertuang dalam pasal 6 draf RUU KIA yang menyatakan bahwa suami berhak mendapatkan cuti pendampingan ibu melahirkan paling lama 40 hari atau ibu yang mengalami keguguran paling lama 7 hari. Selain itu, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja perempuan berhak memperoleh cuti selama 3 bulan. Di sisi lain, pegawai negeri sipil (PNS) laki-laki diperbolehkan mengajukan cuti selama satu bulan jika istrinya melahirkan. Hal ini tertuang dalam Peraturan BKN Nomor 24 Tahun 2017.
Adapun pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja sesuai bunyi Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Adapun cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.
Selain itu dalam draf RUU Ketahanan Keluarga yang diterima, cuti melahirkan bagi perempuan pekerja serta cuti istri melahirkan bagi laki-laki pekerja tercantum pada Pasal 27 Ayat 3 huruf c. Ayat 3 menjelaskan soal indikator pekerjaan ramah keluarga yang berbunyi
c. pemberian cuti di masa kehamilan dan cuti kelahiran bagi perempuan pekerja paling sedikit 6 (enam) bulan, cuti istri melahirkan bagi laki-laki pekerja paling sedikit 3 (tiga) hari, tanpa kehilangan haknya atas upah atau gaji dan posisi pekerjaannya.
Meski sudah banyak pasal di Indonesia yang mengatur tentang ini, namun sangat disayankan hal ini tidak diberlakukan secara adil dan merata pada seluruh perusahaan di Indonesia sehingga dampaknya, banyak laki-laki yang hanya mendapat kesempatan selama 2 hari atau bahkan sama sekali tidak mendapat hak cuti saat istri melahirkan. Selain itu, pemerintah juga diharapkan mampu memberikan dukungan baik secara finansial bagi suami dan istri. Maka dari itu, perlu segera diadakan pemerataan kebijakan oleh penerintah.
Adapun akhir-akhir ini, muncul berita yang menyampaikan bahwa DPR RI menginisiasi pemerataan kebijakan cuti selama 40 hari bagi suami yang istrinya melahirkan dalam Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengatakan bahwa RUU KIA menguatkan hak para suami untuk dapat mendampingi istrinya yang melahirkan atau mengalami keguguran. Melalui berita ini, masyarakat berharap kebijakan ini segera direalisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat indonesia.
Conclusions:
Pemerintah memainkan peran penting dalam menerapkan kebijakan cuti persalinan yang inklusif bagi suami. Dengan mengembangkan kebijakan yang mendukung keterlibatan suami, mendorong kesadaran masyarakat tentang manfaat keterlibatan ayah dalam perawatan anak, dan memberikan insentif kepada perusahaan untuk menerapkan kebijakan yang inklusif, pemerintah dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan keluarga dan kesetaraan gender.
Dengan demikian, kebijakan cuti bagi suami saat istri melahirkan dan setelah melahirkan bukan hanya tentang memberikan hak-hak yang setara kepada suami dan istri, tetapi juga tentang menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, berkeadilan gender, dan berorientasi pada kesejahteraan keluarga.
References
A fresh look at paternity leave: Why the benefits extend beyond the personal. (2021, March 5). Retrieved March 17, 2024, from McKinsey & Company website: https://www.mckinsey.com/capabilities/people-and-organizational- performance/our-insights/a-fresh-look-at-paternity-leave-why-the-benefits-extend- beyond-the-personal
Humbang Hasundutankab.go.id. (n.d.). RUU Ketahanan Keluarga: Cuti Melahirkan untuk Istri 6 Bulan, Suami 3 Hari. Retrieved from https://humbanghasundutankab.go.id/main/index.php/read/news/1593
Roscoe, L. (2022). Father’s Day, or father’s six weeks? Well, how about father’s six months? Retrieved from https://maternityaction.org.uk/2022/07/fathers-day-or-fathers-six- weeks-well-how-about-fathers-six-months/
Setjen DPR RI. (2020). DPR Inisiasi Cuti 40 Hari Bagi Suami yang Istrinya Melahirkan Lewat RUU KIA. Retrieved March 17, 2024, from Dpr.go.id website: https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/39423/t/DPR%20Inisiasi%20Cuti%2040%20Ha ri%20Bagi%20Suami%20yang%20Istrinya%20Melahirkan%20Lewat%20RUU%20KIA
Komentar
Posting Komentar