BUNDA, MAAF
BUNDA, MAAF
Oleh: TamuTemu
Eksistensi rembulan yang nampak menakjubkan justru jadi satu alasan kekesalan sosok di ujung ruangan yang marah akibat merasa diri di hinakan. Padahal gemerlap indah di atas sana sama sekali tidak mau tahu menahu bagaimana kehidupan setiap insan yang saling mencumbu satu sama lain.
Melihat bagaimana gerak-geriknya justru membuat sang bulan jauh lebih ingin memamerkan pertunjukan indah yang sebenarnya ia simpan untuk hari-hari esok. Menertawakan kemalangan anak manusia yang sejak tadi menatapnya intens. Tatapan lemah yang berujung helaan nafas panjang masih tak cukup membuat ia yang di atas sana sesegera mungkin menghibur.
Tak cukup mampu menahan diri, rembulan yang tadinya bersinar terang kini mulai meredup, bersembunyi di balik awan yang hampir menelannya secara utuh. Cepat sekali berubah, mungkin sama halnya dengan kejadian satu hari ini yang dialami anak manusia yang tak kunjung juga membaik isi hatinya.
Matanya yang lelah menelisik pada meja belajar berukuran sedang, di atasnya sebuah buku dengan halaman pertamanya menjadi sajian utama yang ditampilkan.
Buku kosong!
“Apa yang mau di tulis?!” Suaranya menggema pada ruang akrab yang ia sapa kamar, dinding-dinding dingin akibat malam semakin larut seperti sedang berlomba menertawakan dirinya yang bodoh.
Kalah, perempuan itu kalah telak. Lagi dan lagi air matanya turun membasahi hingga bantal yang jadi penopang sikunya untuk sekedar bertahan barang sejenak ikut kena imbasnya. Remang lampu kemuning yang akhirnya ikut berpartisipasi untuk kemudian berpesta merayakan kesedihan yang tentu belum juga menemukan ujung pengakhiran, mengganti lampu berintensitas terang di atas sana. Mulai mencari posisi yang menurutnya aman. Mencoba mengambil alih peralatan menulis yang nyatanya sudah lelah untuk sekedar didiamkan lebih lama lagi.
Bukunya yang kosong melontong kini sudah mulai terisi, cairan bening yang dengan lantangnya menyuarakan suara untuk dapat kembali mengambil alih atas eksistensi yang tadinya mampu untuk sekedar ditahan.
Bun, maaf…
Itu hal terakhir yang ia tulis.
Suara melodi indah hasil gesekan air yang terus mengucur di luar sana jadi satu bukti bahwa perpisahan memang hal yang akan datang. Dua jam lalu, bulan begitu gemulai menampilkan sosok diri yang sudah bersolek bak ia adalah hal paling memukau di dunia. Tapi nyatanya semesta punya jadwal gilirannya sendiri, menggeser posisi yang tadinya begitu angkuh karena diberikan kesempatan tampil kini sudah tidak lagi menunjukkan eksistensinya.
Hujan lebat yang mengguyur bumi ternyata jadi satu pengantar tidur terbaik yang memang dibutuhkan untuk sekedar mengistirahatkan diri barang sejenak dari ramainya isi kepala yang secara paksa memberontak ingin dikeluarkan sebagai wujud tak akan adanya perdamaian.
“Bunda?” Anak itu memekik kala sang Bunda yang teramat dicintai tiba untuk mengantarkan putri kecilnya yang kini beranjak dewasa untuk kembali terlelap pada dunia mimpi yang indah.
Dielusnya surai hitam bergelombang, yang ia turunkan dari dirinya sendiri. Lalu beberapa kali di ciumi tanpa ampun.
“Bun, Kakak salah ya?” Anak itu murung.
“Kenapa, kok Kakak begitu bicaranya?” Dengan mata yang sudah lebih dari kata cukup untuk membawa ketenangan dunia jadi satu hal yang pasti di dapat, melihat lembut manik milik anaknya.
“Bunda…mati. Itu karena Kakak kan?!” Nafasnya mulai memburu. Pertahanan itu akhirnya luruh juga, karena pada dasarnya ia telah menang.
“Bunda, ga kemana-mana Nak. Bunda, di sini, bareng Kakak. Kenapa Kakak menyalahkan diri sendiri?” Ia mulai tidak suka dengan arah pembicaraan ini.
“Kakak, gagal lindungi Bunda.” Kali ini, tangisnya ia biarkan menyuara. Ia biarkan tangis itu bersanding dengan gemuruh hujan di luar sana.
Bunda biarkan, ia biarkan anak sayangnya itu memvalidasi emosi yang memang harus untuk di akui keberadannya. Dengan tangan yang digunakan untuk terus membelai, mengalirkan nyaman terbaik yang dibutuhkan setiap anak.
Diamnya kali ini Bunda anggap sebagai satu kepastian bahwa putrinya sudah bisa di ajak bicara, “Sayangnya Bunda, ramai sekali ya, Nak, isi kepalanya? Menangislah Anakku. Bunda tunggu sampai Kakakk benar-benar tenang.”
“Bunda maaf...” Kembali ia berhambur dalam pelukan penuh luka yang sukar untuk diajak sekedar istirahat dan berdamai.
“Bukan salah Kakak, ini memang sudah takdir yang Tuhan berikan sayang.”
Berselimut pada pilu yang terus menggonggong ingin di kokohkan jadi hal pasti yang melahap habis sisa kehidupan adalah satu perjuangan yang memang patut untuk mendapatkan kata selesai.
“Bun…”
“Iya, anak Bunda sayang?”
“Terimakasih sudah jadi Bunda yang hebat untuk kakak. Kakak, sangat senang karena Tuhan memilih kakak jadi anak Bunda, tapi Bun…” Ucapan itu terjeda, membiarkan kerongkongan yang sedikit mengering untuk di alirkan terlebih dahulu. Mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan datang.
“Bun… nanti kalau memang kehidupan kedua itu ada, Tolong Bunda jangan menikah dengan ayah. Kakak tidak papa untuk tidak jadi anak Bunda lagi, bahagialah Bun. Hiduplah dengan tenang pada waktu itu, Kakak akan minta pada Tuhan untuk jadi salah satu bintang di langit. Teruslah bahagia Bun, Kakak sayang Bunda. Pergilah, hiduplah dengan damai. Kakak ikhlas Bun…” Ia terbangun. Matanya yang merah kini telah berderai air mata, ditatapnya dinding-dinding kosong yang ikut bersedih atas perpisahan yang baru saja terjadi.
Kalimat yang akhirnya terselesaikan dengan kata rampung yang di berikan isyarat sebagai tanda terselesaikannya dengan baik jadi bukti nyata bahwa memang hal memilukan ini jadi satu hal yang sudah digariskan oleh takdir.
“Selalu dalam kedamaian Bun, kakak tid
ak akan menahan Bunda lagi di sini. Kakak sayang Bunda…”
Komentar
Posting Komentar