TINJAUAN YURIDIS TERHADAP STATUTORY RAPE PADA PERNIKAHAN DINI DI INDONESIA
TINJAUAN
YURIDIS TERHADAP STATUTORY RAPE PADA
PERNIKAHAN DINI DI INDONESIA
Oleh:
Risky Wulan Ramadhani
Anak merupakan harapan bagi setiap orang tua untuk
meneruskan kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang, seorang anak
sebagai generasi penerus haruslah dilindungi agar dapat tumbuh berkembang
dengan baik, namun masih saja sering terjadi kasus kekerasan terhadap anak.
Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari hingga 19 Juni 2020 telah terjadi
3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768
psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual. Angka
yang begitu tinggi tentu akan berpotensi menimbulkan kompleksitas kasus
kekerasan seksual yang berkepanjangan, terlebih di masa Pandemi Covid-19 anak
akan sangat rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi karena adanya
keterbatasan sosial sehingga harus menetap di rumah akan menciptakan suatu
kekhawatiran baru bagi para korban kekerasan seksual terlebih anak-anak.
Kasus-kasus yang ada tidak hanya dilakukan oleh
orang asing, melainkan keluarga bahkan orang tua sekalipun dapat berbuat hal
keji serupa, padahal keluarga menjadi tempat untuk berlindung namun justru
menjadi ancaman bagi anak-anak, seperti misalnya kasus kekerasan seksual
terhadap anak dibawah umur yang cukup menonjol di Provinsi Kalimantan Tengah
selama tahun 2020. Pelakunya ada yang ayah kandung, ayah tiri dan sejumlah orang dekat korban
lainnya. Selain itu, kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena adanya
pernikahan dini, Pernikahan dini adalah pernikahan atau akad yang bisa menjamin
seorang laki-laki dan perempuan saling memiliki hubungan suami istri akan
tetapi pernikahan itu dilaksanakan oleh seseorang yang usianya belum memenuhi
syarat sah perkawinan yang telah ditentukan dalam Undang-undang Perkawinan No.1
tahun 1974. Badan Pusat Statistik mencatat, 3,06% pemuda
Indonesia yang kawin pertama di bawah usia 15 tahun berasal dari 40 % kelompok
pengeluaran rumah tangga terbawah pada 2020. Sedangkan, hanya 1,85% dari 40%
kelompok pengeluaran menengah dan 0,91% dari 20% kelompok ekonomi teratas. Banyaknya pernikahan dini yang terjadi di Indonesia mengalami lonjakan di masa pandemi,
serta karena adanya keterbatasan ekonomi menimbulkan tingginya tingkat angka
perceraian, karena di usia yang masih dibawah umur belum mampu mengontrol emosi
dan menyelesaikan suatu permasalahan secara baik, hal ini menimbulkan kekerasan
seksual baik fisik maupun psikis yang dapat terjadi dalam pernikahan dini.
Pada dasarnya, dalam hukum positif di Indonesia
kekerasan seksual terhadap anak dalam perkawinan dini belum diatur secara
spesifik, namun bukan berarti perbuatan tersebut diperbolehkan, ada beberapa rule of law yang melarang melakukan persetubuhan
anak dibawah umur dengan ataupun tanpa paksaan atau yang biasa disebut dengan
istilah “Statutory Rape”, serta
merampas hak anak dan melanggar kesusilaan, diantaranya:
Ditinjau dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Dengan
adanya beberapa kekerasan yang terjadi terhadap anak, maka dalam Lex Generalis Indonesia diatur beberapa
ketentuan sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku, seperti:
·
Pasal 287 KUHP: “Barang
siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui
sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum 15(lima belas) tahun diancam
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
·
Pasal 288 KUHP :
1. Barang
siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan perempuan yang dinikahinya, padahal diketahuinya
atau patut dapat disangkanya bahwa perempuan itu belum pantas dikawini, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun, apabila perbuatan itu berakibat
badan perempuan itu mendapat luka.
2. Jika
perbuatan itu berakibat perempuan tersebut mendapat luka berat dijatuhkan
pidana penjara selama-lamanya delapan tahun.
3. Jika
perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan itu, dijatuhkan pidana selama-lamanya
dua belas tahun.
·
Pasal 290 KUHP :
Diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. Barang
siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa
orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. Barang
siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak
jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin:
3. Barang
siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang
lain.
Ditinjau dari UU No 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga
Secara
lex spesialis, adanya kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak akan dikenakan
sanksi pidana bagi pelaku, hal ini diatur dalam pasal 46 yaitu setiap orang
yang melakukan perbuatan kekerasan seksual dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000 ( tiga puluh enam
juta rupiah). Lebih lanjut pada pasal 47 yang menyatakan bahwa “setiap orang
yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan
seksual, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana
penjara paling lama 15(lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp
12.000.000 (dua belas juta) atau denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus
juta rupiah).
Perlindungan Hukum
terhadap Korban Statutory Rape
Selain adanya regulasi terhadap efek
jera yang dapat diberikan kepada Pelaku, maka nasib dari korban haruslah
mendapatkan perhatian khusus, dalam Hukum Positif di Indonesia, Negara telah
menjamin perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual, adapun ketentuannya
sebagai berikut:
Jika
ditelaah dalam konstitusi Indonesia bahwa pada dasarnya setiap orang telah
dilindungi Hak Asasi Manusia nya, seperti yang tertuang dalam pasal 28 A hingga
pasal 28 J yang mengatur secara konkrit dalam menjamin Hak Asasi Manusia bagi
setiap Warga Negara. Salah satu nya pada pasal 28 G dijelaskan bahwa “setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi”.
Penjelasan
lebih lanjut diatur Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, Pasal 5 mengatur bahwa saksi dan Korban memiliki beberapa hak
seperti memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya; ikut serta dalam proses memilih dan menentukan
bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; dirahasiakan identitasnya; mendapat tempat kediaman sementara dan
sebagainya. Dalam pasal 6 korban juga berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan
rehabilitasi psikososial dan psikologis. Selain itu, korban juga berhak untuk
mendapatkan restitusi sebagaimana yang telah diamanatkan dalam pasal 7 A.
Kemudian,
dalam UU No 35 Tahun 2014 pada pasal 69 A diatur bahwa Perlindungan Khusus bagi
anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2)
huruf j dilakukan melalui upaya:
- Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaa
- Rehabilitasi
sosial
- Pendampingan
psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan dan
- Pemberian
perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari
penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pada
UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga pasal 16
mengatur bahwa kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada
korban kekerasan seksual paling lama 7
hari sejak korban ditangani, kemudian pada Pasal 22, pekerja sosial harus
melakukan konseling, mengantar korban ke rumah aman dan melakukan koordinasi
yang terpadu dalam memberikan layanan kepada Korban dengan pihak kepolisian,
dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
Hukum sebagai seperangkat alat untuk
mengatur moralitas manusia, haruslah dipatuhi dengan baik agar kehidupan setiap
orang mendapatkan ketenangan, keamanan dan kenyamanan. Aturan hukum hadir bukan
hanya sebagai upaya represif, melainkan juga sebagai upaya preventif agar
seseorang tidak melakukan kesalahan yang sama. Landasan Hukum yang ditetapkan
oleh Negara harus ditaati demi mewujudkan kesejahteraan terhadap setiap warga Negara,
dengan adanya berbagai kasus yang terjadi di Indonesia khususnya kekerasan
seksual, menjadi tanggung jawab bersama bahwa orang-orang disekitar kita perlu
dilindungi agar tidak menjadi korban eksploitasi seksual bagi para pelaku. Oleh
karena itu tidak hanya pemerintah yang memiliki peran besar, masyarakat dapat
bertindak untuk mencegah berlangsungnya kekerasan seksual, memberikan
perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan. Melalui pernikahan dini, kekerasan seksual pun dapat
terjadi, oleh karena itu demi menurunkan angka pernikahan dini, perlu adanya
tindakan memperketat izin dispensasi nikah oleh para penegak hukum dan
Pemerintah dapat memperbarui regulasi
yang berfokuskan pada korban statutory
rape pada pernikahan dini sehingga korban akan mendapatkan perlindungan dan
kepastian Hukum.
Kereeeen🤩
BalasHapus