KEBEBASAN BERPENDAPAT DI MEDIA SOSIAL : ANTARA KEBEBASAN YANG KEBABLASAN DAN REGULASI HUKUM YANG REPRESIF

Kebebasan Berpendapat Di Media Sosial : Antara Kebebasan Yang Kebablasan Dan Regulasi Hukum Yang Represif

Oleh : Arda Yomi

Kebebasan berpendapat setiap warga negara telah dijamin dalam konstitusi kita yaitu Undang- Undang Dasar 1945. Selain konstitusi, kebebasan berpendapat juga dijamin oleh berbagai ketentuan-ketentuan HAM. Oleh karena itu kebebasan berpendapat merupakan hak dan kebebasan dasar setiap orang yang tidak dapat diganggu gugat dan di intervensi.

Di Indonesia, penggunaan media sosial sebagai media untuk berekspresi dan berpendapat sudah meningkat pesat. Namun hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan masyarakat untuk bijak dalam berpendapat di media sosial. Masih banyak masyarakat yang belum mampu untuk bijak dalam menggunakan media sosial, baik secara etika maupun tanggung jawab dalam menyampaikan pendapat. Hal ini didukung oleh hasil survei dari Microsoft yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah pengguna media sosial dengan tingkat kesopanan terendah se-Asia Tenggara.

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu indikator kemajuan demokrasi suatu negara. Di Indonesia hak masyarakat untuk bebas berpendapat banyak disalurkan melalui kritik terhadap pemerintah di media sosial. Akan tetapi, masih banyak kritik yang cenderung kebablasan atau keluar batasan. Kritik yang disampaikan terkadang tidak memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi pemerintah. Substansi dari kritik terkadang menyinggung hal-hal yang bersifat pribadi, dan dapat merendahkan harkat martabat pihak yang dikritik. Bahkan tidak jarang kritik yang disampaikan berdasar pada informasi hoax.

Bagi para politikus, kritik juga sering dijadikan sebagai alat untuk sekedar menjatuhkan lawan politik. Kritik menjadi minim solusi, karena tujuannya untuk kepentingan politik serta dalam rangka mencari dukungan dan menggiring opini masyarakat. Sehingga kritik yang disampaikan juga sering menyampingkan fakta dan kebenaran yang sebenarnya.

Selain kritik yang kebablasan, tentu banyak pula kritik-kritik terhadap pemerintah yang substansinya dapat membangun. Contohnya seperti kritik-kritik yang dilayangkan kepada para aparat penegak hukum tentang kinerja mereka dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia. Serta kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa kurang tepat dan butuh masukan dari masyarakat.

Namun dewasa ini ada kekhawatiran di masyarakat dalam kebebasan berpendapat di media sosial, yaitu terkait dengan Undang – undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Undang- undang ini dianggap dapat mengekang kebebasan berpendapat masyarakat, dengan sejumlah pasal yang multitafsir atau yang biasa disebut sebagai “pasal karet”. Pasal- pasal karet ini berpotensi menjadi akar masalah dari tindakan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang oleh aparat penegak hukum dalam mengaplikasikan undang-undang ini.

Dalam pasal-pasal karet ini, ditemukan juga norma-norma yang dapat memicu tindakan eksesif aparat dalam penerapannya. Artinya aparat penegak hukum bisa saja menafsirkan norma- norma hukum dalam pasal-pasal ini sesuai dengan kepentingan pemerintah, jika seumpamanya pemerintah tidak suka terhadap kritik atau pendapat yang disampaikan masyarakat di media sosial. Oleh karena itu pasal-pasal karet ini dikhawatirkan bisa menjadikan pemerintah dapat menyetir atau mengendalikan arah UU ITE ini sesuai dengan kepentingan dan kemauan pemerintah.

Menurut penulis, terkait dengan kritik yang dianggap pemerintah sebagai ujaran kebencian, prinsip hukum yang diterapkan haruslah measureable atau terukur. Salah satu ukurannya adalah dengan menelisik apakah ada kerugian yang didapat dari pihak yang dikritik dalam hal ini pemerintah. Jika kemudian kerugian tidak dapat diukur, maka hukum yang seperti itu adalah hukum yang bisa memenjarakan siapa saja. Pemerintah juga harus fair atau adil dalam menafsirkan regulasi hukum yang mengatur kebebasan berpendapat. Jangan kemudian regulasi hukum itu ditafsirkan demi kepentingan pemerintah itu sendiri.

Kemudian dalam berpendapat di media sosial, ada beberapa etika yang juga perlu diperhatikan , agar kemudian pendapat tersebut tepat sasaran dan tidak menimbulkan konflik dan merugikan suatu pihak. Dalam menyampaikan pendapat di media sosial, baiknya disertai dengan etika dan tanggung jawab. Pendapat yang disampaikan juga harus kredibel, bukan hasil dari miskonsepsi terhadap informasi hoax.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?