WEWENANG JUDICIAL REVIEW SATU PINTU DI MAHKAMAH KONSTITUSI, IDEALKAH DEMIKIAN?

 Wewenang Judicial Review Satu Pintu di Mahkamah Konstitusi, Idealkah Demikian?


Oleh: Fathul Hamdani



Hans Kelsen menjelaskan bahwa, kaidah hukum itu sendiri tidak lain adalah “command of the sovereign” kehendak yang berkuasa. Sehingga hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi, dimana norma yang lebih rendah harus sesuai dengan yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi menjadi acuan norma di bawahnya. Sehingga suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantkizt). Dalam hal tata susunan atau hirarki sistem norma-norma yang tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma yang di bawahnya sehingga apabila norma dasar itu berubah, maka akan rusak pula sistem norma yang berada di bawahnya. Oleh karena itu dalam memastikan tidak terjadinya pertentangan norma, dan mewujudkan kepastian hukum maka putusan itu idealnya bersumber dari satu kelembagaan.

Wewenang untuk melakukan pengujian peraturan di bawah undang-undang status quo-nya saat ini masih berada di tangan MA. Wewenang judicial review satu pintu di MK atau pengalihan wewenang pengujian peraturan di bawah undang-undang dari MA ke MK merupakan hal yang wajar mengingat banyaknya kewenangan dan perkara yang masuk ke MA dengan jumlah SDM di MA yang juga terbatas. 

Selain itu, beberapa permasalahan yang timbul selama ini adalah berkaitan mengenai penafsiran terhadap keabsahan suatu produk hukum yang tidak bisa dilakukan secara integral. Penafsiran berbeda bisa saja terjadi antara MA dan MK, yang mana MA berwenang melakukan uji materiil, sementara MK berwenang melakukan uji materiil dan formil terhadap kebenaran dan keabhsahan suatu norma. Beda kepala maka beda pula isi pikirannya. Misalnya yang pernah terjadi, mengenai perbedaan penafsiran tentang PK. Dimana melalui putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, MK membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang mengatur PK hanya bisa diajukan sekali. Artinya, melalui putusan tersebut MK memperbolehkan PK diajukan lebih dari satu kali. Sedangkan MA menafsirkan PK berbeda melalui SEMA Nomor 7 tahun 2014, yang menjelaskan bahwa PK hanya dilakukan maksimal satu kali.

Contoh lain misalnya terkait perbedaan penafsiran dan putusan yang dikeluarkan oleh MK dan MA. Yakni putusan MA Nomor 15 P/ HUM/2009 dan Putusan MA Nomor 16 P/HUM/2009 dengan putusan MK No. 110-111-112-113/PUUVII/2009. Sehingga, KPU tidak mau menjalankan putusan MA. Padahal putusan MA lebih dulu dibacakan dibandingkan putusan MK.

Tentu saja hal ini menimbulkan pro dan kontra. Kendatipun demikian, pro dan kontra tidak hanya muncul ketika KPU tidak menjalankan putusan MA, hal sebaliknya pastinya juga akan terjadi. Artinya, pro dan kontra juga akan muncul manakala KPU menjalankan putusan MA dengan menyampingkan putusan MK. Sebab para pihak yang menolak putusan MA akan berpandangan bahwa bagaimana KPU dapat menjalankan putusan MA yang berangkat dari batu uji yang telah dinyatakan konstitusional bersyarat oleh MK. Sebab, persoalan konstitusional atau tidaknya sebuah undang-undang tentunya merupakan domeinnya MK, bukan MA. 

Dalam mengantisipasi persoalan hukum yang berpotensi muncul dari kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan antara MA dan MK tidak cukup hanya dengan keberadaan Pasal 55 UU No. 24 Tahun 2003 jo UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yakni  pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung wajib dihentikan ketika undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan MK. 

Andai kata sebelumnya sudah ada  putusan MA, kemudian beberapa waktu setelah itu MK pun mengeluarkan putusan, namun tidak ada pertentangan, tentu saja hal ini tidak ada masalah. Tetapi, di dalam realitanya tidak selamanya seperti itu pertentangan antara putusan MA dan MK secara susbstantif seperti ini, bukanlah persoalan yang sederhana. Ini menyangkut persoalan kepastian hukum, yaitu putusan mana yang berlaku. Padahal baik putusan MA maupun putusan MK sama-sama sah secara hukum. Tentu saja dalam praktiknya tak akan mungkin menjalankan dua putusan yang berbeda dari dua lembaga yang berbeda. Maka, muncullah persoalan berikutnya, yaitu persoalan yang menyangkut kewibawa kelembagaan. Faktanya KPU lebih memilih untuk menjalankan putusan MK. Tentu saja hal ini mengusik kewibawan MA. Lalu pertanyaanya mau dibawa kemana putusan MA? Bilamana putusan MA pada akhirnya tidak dihiraukan karena bertentangan dengan putusan MK, maka bagaimana ukuran dari sebuah kepastian hukum untuk memberikan jaminan terhadap warga negara yang merasa haknya dirugikan.

J.B.J.M. Ten Berge menyebutkan bahwa salah satu prinsip negara hukum adalah adanya asas legalitas. Asas legalitas menghendaki bahwa undang-undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang. Mengingat pentingnya kedudukan peraturan perundang-undangan dalam sistem ketatanegaraan kita, baik karena materi muatan maupun kedudukannya, maka tertib peraturan perundangan wajib untuk diwujudkan, salah satunya adalah melalui pengujian peraturan perundang-undangan yang terfokus pada satu lembaga. Sehingga dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang diuji pun tidak lagi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi masyarakat. 

Pengujian peraturan perundang-undangan yang terintegrasi di Mahkamah Konstitusi adalah sebagai jalan keluar dan sebagai bentuk upaya mengantisipasi beberapa persoalan yang telah terjadi di masa lalu, sehingga tidak lagi terjadi di masa yang akan datang ataupun pertentangan Perpres dan Perda secara langsung terhadap UUD 1945, serta untuk menyesuaikan dengan hierarki peraturan perundang-undangan di masa yang akan datang. Sebab, sejarah mencatat bahwa setiap hierarki peraturan perundang-undangan memiliki “rezimnya” masing-masing, yaitu melalui “rezimnya” Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No.XX/MPRS/1966, Tap MPRS No.XX/MPRS/1966, Tap MPR No.III/MPR/2000, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, dan yang berlaku No. 10 Tahun 2004, dan yang berlaku saat ini “rezim” hierarkhi Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. Perihal “rezim” hierarki peraturan perundang-undangan adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari pengujian peraturan perundang-undangan. Persoalan kekosongan hukum lembaga mana yang menguji Tap MPR seperti yang terjadi hari ini, tidak mungkin terjadi bilamana ada pengujian satu pintu. Sebab, bilamana pengujian itu dengan model pengujian satu pintu, berubah pun “rezim” hierarki peraturan perundang-undangan, pastinya semua jenis peraturan perundang-undangan berada di bawah UUD 1945. Namun, ketika masih mempertahankan dengan model dualism hari ini, dikemudian hari berubah lagi rezim hierarki peraturan perundang-undangan, memungkinkan memunculkan persoalan lagi. Misalkan, bagaimana jika di masa yang akan datang Perppu kembali ditempatkan di bawah undang-undang. Tentu saja menjadi kewenangan pengujian dari MA bukan MK lagi. Sebab, lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang adalah MA. 

Di samping itu, bisa lagi memunculkan persoalan hukum baru. Misalkan Perppu itu diuji ke MA, MA mengatakan tidak ada persoalan dengan Perppu itu. Selanjutnya, Perppu itupun kemudian disetujui DPR menjadi undang-undang. Lebih lanjutnya undang-undang inipun diuji ke MK, dan MK mengatakan undang-undang ini bermasalah (inkonstitusional). Hal inipun kembali terjadi pertentangan penafsiran antara MA dan MK. Karenanya, tidak dapat tidak, bahwa pengujian satu pintu adalah sebuah keniscayaan. Mengenai lembaga mana  yang diberikan kewenangan pengujian satu pintu, apakah MA atau MK maka lihatlah pertimbangan berikut:

1. MK sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar MA yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup empat lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan  umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer. MA sudah sedemikian banyak dibebani dengan tugas dan tanggung jawab yang luar biasa berat, yang rawan dan berpotensi menyebabkan tumpukan pekerjaan dan perkara tidak terselesaikan karena beban kerja yang overload, oleh karenanya agar terjadi kelancaran dan kesinambungan peradilan, alangkah baiknya jika salah satu beban MA yaitu judicial review diserahkan pada MK.

2. MA digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang perorang ataupun subjek hukum lainnya, sedangkan MK tidak berurusan dengan orang perorang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara-perkara yang diadili di MK pada umumnya menyangkut persoalan-persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang  bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang-perorang atau kasus demi kasus ketidakadilan secara individual dan konkrit. Yang bersifat konkrit dan individual paling-paling hanya yang berkenaan dengan perkara “impeachment‟ terhadap Presiden/Wakil Presiden.

3. Pemberlakuan satu pintu pengajuan judicial review di Mahkamah Konstitusi merupakan upaya untuk menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan court of law, dan Mahkamah Agung adalah court of justice, karena judicial review termasuk ke dalam ranah court of law bukan court of justice. MA sebagai court of justice mengadili ketidakadilan dari subyek hukum untuk mewujudkan keadilan, sedangkan MK sebagai court of law mengadili validitas norma hukum untuk mencapai keadilan itu sendiri. Adapun judicial review tidaklah mengadili orang perorang, lembaga, organisasi, dan subyek hukum melainkan mengadili sistem hukum (perundang-undangan) demi mencapai keadilan.

Apabila melihat di beberapa negara, misalnya dikenal dengan istilah wewenang judicial review yang terintegrasi melalui satu lembaga peradilan. Misalnya Amerika Serikat melalui Supreme Court atau Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya berwenang memutuskan perkara review sebuah produk perundang-undangan. Model di Amerika  memperlihatkan bahwa judicial review dapat dilakukan oleh banyak peradilan, namun kesemuanya dalam satu pintu di bawah naungan Mahkamah Agung Amerika. Judicial review yang dilakukan oleh lembaga peradilan di bawah MA dapat dibanding ke peradilan di atasnya. 

Selain Amerika Serikat, negara-negara yang telah menerapkan konsep judicial review satu pintu atau satu pintu adalah Austria, Prancis (constitutional preview dan review), Jerman dan bahkan Malaysia. Negara-negara yang menerapkan konsep judicial review satu pintu mayoritas beranggapan bahwa konsep judicial review satu pintu lebih efektif dan efisisen. Dalam konteks ke-Indonesiaan, konsep judicial review satu pintu dapat memperkuat kedudukan, peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi. Penafsiran secara integral dan holistik terhadap konstitusi dapat diwujudkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui konsep judicial review satu pintu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?