KAMUFLASE KAUM ELIT DI TENGAH BENCANA NEGERI
Oleh : Sesi Safitri Liani
Persoalan lingkungan hidup dan bencana alam sedang menjadi sorotan hangat untuk dibahas saat ini jika dilihat dari prospek sebuah negara kepulauan dan dikaruniakan berbagai aset alam yang tidak terdapat di negara lain, Indonesia adalah sebuah negara yang berdaulat, memiliki banyak kekayaan alam dan sumber daya manusia yang terbilang mampu bersaing dengan negara lainnya. Indonesia dengan menduduki peringkat ke 5 dalam pendapatan per kapita di wilayah asia tenggara, yang mencapai US$ 13.120 berdasarkan laporan Internasional Monetary Fund. Tentu saja angka tersebut dapat menunjang keuangan negara.
Selain itu dunia politik di dalam negeri ini setiap masanya selalu menyajikan atmosfer baru, seiring munculnya berbagai politisi muda yang mampu memanfaatkan peluang dalam hal mempromosikan diri mereka di lingkungan masyarakat. Dari hingar bingar perpolitikan di negeri ini, saya menyoroti banyaknya kasus bencana alam di negeri ini yang terbilang terjadi secara berantai. Hal tersebut tentu saja tidak jauh dari persoalan lingkungan yang sekarang dapat dikategorikan tidak sehat. Kabar mengenai semakin kecilnya wilayah hutan di berbagai wilayah Indonesia semakin menjadi ancaman di depan mata yang kerap kali menghantui masyarakat Indonesia. Tentu saja kejadian seperti ini dipicu oleh pembukaan lahan pertanian dengan skala yang cukup besar, dan mendekati wilayah hutan lindung.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa hutan adalah paru-paru dunia, dilihat dari definisi hutan itu sendiri yang merupakan sebuah kawasan yang ditumbuhi pepohonan dan tumbuhan lainnya. Dari sinilah karbon dioksida, habitat hewan, pelestarian tanah yang menjadikan satu aspek biosfer bumi paling penting untuk kehidupan umat manusia kedepannya. Dalam Pasal 46 Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 mengenai kehutanan, penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari. Terjadinya banyak persoalan lingkungan seperti, banjir, tanah longsor, krisis air bersih dan pembabatan hutan menjadikan beralihnya fungsi hutan.
Siapakah yang salah ?
Pemerintah seharusnya lebih selektif dalam memberikan izin pembukaan lahan kepada masyarakat, dan memberikan sanksi tegas kepada masyarakat yang telah melampaui batas wajar dalam membuka lahan pertanian. Pada lima tahun terakhir saya menyoroti banyaknya pembabatan hutan dan gunung yang terlihat gundul, sehingga tidak heran jika pada awal tahun 2021 saat ini menurut data yang diperoleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mencatat 232 titik bencana banjir sudah terjadi pada awal bulan februari 2021. Negara kita dilanda oleh bencana banjir hampir di seluruh wilayah, bahkan wilayah yang dikategorikan jarang dihampiri oleh bencana banjir, bisa mendapatkan musibah tersebut.
Perjalanan perpolitikan sangat indah jika dilihat pada saat bencana datang di negeri ini, banyak orang-orang berdasi berlomba-lomba menyalahkan sesama kaumnya, berusaha mencuci tangan dan menyalahkan beberapa aspek yang mereka anggap itu salah. Sedangkan masyarakat menjadi penonton yang dibuat untuk percaya. Padahal luas wilayah hutan dan deforestasi Indonesia pada tahun 2019, mencapai 94,1 juta ha atau 50,1% . Menurut data Ditjen PKTL yang menunjukkan tren deforestasi Indonesia dikategorikan relatif lebih rendah dan cenderung stabil. Mari kita pahami bersama pentingnya perlindungan dari lingkungan hidup seperti yang tertuang dalam “Asas Tanggung Jawab Negara” yang menyatakan : a). negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. b). negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. c). negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam penanganan bencana, sehingga wujud implementasi dalam menuntaskan persoalan negara dapat terselesaikan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 mengenai pengelolaan lingkungan hidup, ditemukan ketentuan pidana dalam Bab IX pada pasal 41 sampai dengan pasal 48. Pokok pembahasan dalam undang-undang ini terdapat dua aspek penting yaitu : Delik Materil (generic crimes) dan Delik Formal (specific crimes). Delik Materil adalah suatu perbuatan yang melawan hukum seperti menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan. Delik materil disebut juga sebagai Administrave Independent Crimes. Sedangkan Delik Formal diartikan sebagai suatu perbuatan yang dikategorikan melanggar aturan hukum administrasi seperti Izin atau Dokumen Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan (DPPL).
Komentar
Posting Komentar