DESA SEBAGAI BASIS PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN GUNA MENUJU INDONESIA EMAS 2045



 DESA SEBAGAI BASIS PENINGKATAN KUALITAS 

PENDIDIKAN GUNA MENUJU INDONESIA EMAS 2045 


Oleh : I Putu Alit Arsana (D1A017119)

 

Pendidikan adalah salah satu sektor penentu kemajuan suatu bangsa. Menjadi negara atau bangsa yang maju tentu sudah menjadi keinginan serta cita-cita semua negara. Melalui pendidikan sebuah bangsa bisa melahirkan generasi penerus yang memiliki kualitas yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Mengingat salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu mencerdasakan kehidupan bangsa. Bangsa Indonesia termasuk kedalam negara berkembang yang masih memiliki masalah dalam dunia atau sektor pendidikan. Banyak yang menilai bahwa kualitas pendidikan di Indonesia selama ini kurang begitu bagus. Berdasarkan data Human Development Report 2000 dari United Nation Development Programme (UNDP) tentang peringkat Human Development Index (HDI) yang merupakan komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala menunjukkan bahwa Trends in human development and per capita income khususnya pada Human Development Index rank (peringkat indeks pengembangan manusia) yang dimiliki Indonesia semakin menurun. Dari 174 negara, Indonesia menempati peringkat ke-102 di tahun 1996, ke-99 di tahun 1997, ke-105 di tahun 1998, dan ke-109 di tahun 1999 (UNDP, 2000). Dari data tersebut yang lingkupnya hampir seluruh negara di dunia, Indonesia hanya mampu berada di posisi 109 dibawah Vietnam. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia dalam lingkup Asia? Berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia dan juga berada di bawah Vietnam (dalam Kompasiana, 2019). 

Berdasarkan uraian data-data diatas tergambar sangat jelas bahwa sektor pendidikan di Indonesia beserta kualitasnya masih rendah, sehingga dalam rangka menuju Indonesia emas di tahun 2045 maka perlu ada sebuah terobosan yang baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Perlu adanya penataan yang baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Untuk menata kembali sektor pendidikan, dibutuhkan sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa.

Desa memiliki potensi yang besar untuk menjadi pionir sekaligus basis peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, karena masih sangat banyak masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah perdesaan. Tingginya angka putus sekolah di Indonesia pada umunya dan di desa pada khususnya, menurut hemat penulis disebabkan oleh empat faktor yang sifatnya fundamental, keempat faktor tersebut adah faktor Poverty (kemiskinan), Deficit of Accessibility (Defisit Akesesibilitas)Kurangnya Tenaga Pendidik, dan Peran Perangkat Desa Yang Kurang Maksimal. Penulis menilai keempat faktor tersebut bersifat mendasar (fundamental) yang dialami seluruh desa di Indonesia. Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut :

 

1. Poverty 

Poverty atau Kemiskinan dialami oleh semua negara di dunia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya kemiskinan adalah masalah yang besar. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia pada September 2018 sebesar 9,66 persen atau sama dengan 25,67 juta orang (BPS, 2019). Penduduk miskin dibagi kedalam dua kategori daerah yaitu daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Masih dengan data yang sama, penduduk miskin daerah perkotaan pada September 2018 tercatat sebesar 6,89 persen atau sama dengan 10,13 juta orang. Sedangkan untuk angka penduduk miskin daerah perdesaan pada September 2018 tercatat sebesar 13,10 persen atau sama dengan 15,54 juta orang. 

Melihat data tersebut, telah kita ketahui bersama bahwa penduduk miskin mayoritas berada di wilayah perdesaan. Kemudian secara logika dapat penulis simpulkan bahwa daerah dengan angka kemiskinan terbesar, maka kualitas pendidikannya masih jauh dibawah rata-rata.

2. Deficit of Accessibility 

Faktor Deficit of Accessibility (Defisit Akesesibilitas) adalah kurangnya sarana dan infrastuktur yang merupakan salah satu faktor penyebab anak-anak lebih memilih untuk putus sekolah. Sarana dan infrastuktur ini meliputi sarana fisik seperti gedung atau bangunan sekolah, jalan raya dan lain sebagainya. Deficit of accessiblity inilah yang sedang terjadi saat ini di Indonesia pada umumnya dan di desa pada khususnya. Pemerintah hanya terfokus dengan pembangunan sarana dan infrastuktur di kota saja. Kekurangan infrastuktur khususnya infrastuktur penunjang pendidikan seperti sekolah, sangat jarang ada desa yang memiliki jenjang sekolah yang lengkap di desanya mulai dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMA/SMK). 

Jarak yang terpaut sangat jauh antara sekolah dengan rumah siswa ditambah infrastuktur jalan yang tidak baik menyebabkan niat belajar siswa menjadi surut.

3. Kurangnya Tenaga Pendidik 

Kurangnya tenaga pendidik adalah salah satu faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Dalam realitanya tenaga pendidik enggan untuk bertugas atau mengajar di desa, apalagi desa terpencil. Tenaga-tenaga pendidik lebih cenderung mengajar di daerah perkotaan ataupun yang dekat dengan kota. Sehingga kekurangan tenaga pendidik di sekolah-sekolah yang ada di desa menyebabkan tenaga pendidik atau guru yang mengajar di desa akhirnya merangkap. Merangkap maksudnya, satu tenaga pendidik atau guru bisa mengajar dua atau lebih mata pelajaran yang bukan komptensi atau bidang keahliannya, sehingga seorang tenaga pendidik tidak fokus atau tidak konsentrasi terhadap bidang yang menjadi keahliannya. 

4. Peran Perangkat Desa Yang Kurang Maksimal

Perangkat desa sebagaimana termuat dalam Pasal 2 ayat 2 Permendagri No. 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, perangkat desa terdiri atas Sekretariat Desa, Pelaksana Kewilayahan, dan Pelaksana Teknis. Mengenai kedudukan dari perangkat desa ini hanya sebagai unsur pembantu tugas Kepala Desa, sebagaimana terdapat dalam pasal 2 ayat 3. Salah satu tugas kepala desa sesuai dengan pasal 6 ayat 3 (b) yaitu melaksanakan pembangunan, seperti pembangunan sarana prasarana perdesaan, dan pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan. 

Kurangnya peran perangkat desa yang penulis maksud yakni kurang maksimalnya peran perangkat desa yang kedua yaitu Pelaksana Kewilayahan (Kepala Dusun). Tugas Pelaksana Kewilayahan/Kepala Dususn telah jelas disebutkan dalam pasal 5 ayat 3 Permendagri No. 84 Tahun 2015 yang meliputi penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Jadi jelas bahwa Pelaksana Kewilayahan/Kepala Dusun membantu tugas pembangunan yang di pikul oleh kepala desa, baik pembangunan di bidang sarana prasarana desa, pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi jika kita melihat realita dari seorang Pelaksana Kewilayahan/Kepala Dusun, apa yang ia lakukan dan kerjakan belum bisa memenuhi tuntutan tugas sesuai dengan ketentuan pasal  4 ayat 3 Permendagri No. 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa. 

Keempat faktor tersebutlah menurut hemat penulis yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia masih tertinggal jauh dengan negara-negara lain.

Kemudian muncul sebuah pertanyaan, bagaimana cara mengatasi ataupun memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia dan menjadikan desa sebagai basis peningkatan kualitas pendidikan untuk menuju Indonesia emas 2045?

Adapun pemecahan masalah atau solusi dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia dan menjadikan desa sebagai basis peningkatan kualitas pendidikan, menurut hemat penulis ada empat cara atau solusi yang dapat dilakukan. Cara tersebut yaitu:

1. Pemerintah harus bersinergi atau dengan kata lain saling membantu menyelesaikan masalah kemiskinan (Poverty).

Disini Pemerintah baik pemerintah Pusat, Pemerintah daerah (Pemda), Pemerintah Kabupaten/Kota (Pemkab/kot), dan Pemerintah Desa harus saling bersinergi untuk menyelesaikan masalah kemiskinan yang ada. Sebagaimana kita ketahui bersama sekarang ada bantuan dana desa yang bersumber langsung dari APBN dengan jumlah yang sangat besar. Dari jumlah bantuan dana desa yang sangat besar tersebut, khusus bagi Pemerintah Desa yang selaku pihak penerima dana, harus mengalokasikan juga dana tersebut untuk membuat atau membangun lapangan kerja baru di desanya masing-masing. Peran seorang Kepala Desa sangat dibutuhkan dalam hal ini, dengan terciptanya lapangan kerja di desa-desa, secara tidak langsung Pemerintah Desa mengendalikan kerasnya arus Urbanisasi yang angkanya setiap tahun meningkat. 

Kemudian agar Pemerintah Desa di seluruh Indonesia melakukan hal yang sama yakni membangun lapangan pekerjaan di desanya masing-masing, diperlukan peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk membentuk sebuah aturan baik berupa UU maupun Perda yang menugaskan Pemerintah Desa untuk membuka lapangan pekerjaan baru sesuai dengan kondisi sosial-geografis serta potensi desanya. Opsi kedua atau pilihan yang kedua yaitu merevisi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa khususnya Pasal 26 ayat 1 dengan menambah tugas kepala desa untuk membuka lapangan pekerjaan. 

2. Sembari masalah kemiskinan masih ditangani, maka kemudian Pemerintah harus membangun infrastruktur penunjang pendidikan seperti gedung sekolah, baik di tingkat TK, SD, SMA, khususnya di desa. Karena sesuai bunyi Pasal 31 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yaitu “Setiap warga berhak mendapatkan pendidikan”. Kemudian, selain infrastruktur berupa sekolah, yang harus disiapkan selanjutnya adalah infrastruktur jalan khususnya jalan di perdesaan untuk mendukung aktivitas masyarakat khususnya di bidang pendidikan. 

3. Ketika infrastruktur telah selesai atau sudah dibangun, maka selanjutnya pemerintah harus memberdayakan para sarjana khususnya di bidang keguruan, dengan cara menempatkan mereka di sekolah-sekolah yang masuk kedalam wilayah perdesaan sesuai dengan bidang pelajaran yang dibutuhkan oleh sekolah guna membangun pendidikan di desa tersebut. 

4. Setelah angka kemiskinan mulai menurun, infrastuktur penunjang pendidikan di desa sudah lengkap, dan tenaga pendidk telah memadai, maka selanjutnya adalah mengoptimalkan peran perangkat desa oleh kepala desa setempat serta meminta bantuan kepada LSM yang khusus bergelut di bidang pendidikan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya pendidikan.

Dari beberapa poin masalah serta solusi yang dipaparkan diatas, guna mengatasi masalah rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia dan menjadikan desa sebagai basis peningkatan kualitas atau mutu pendidikan pada intinya perlu sinergi atau kerja sama yang kuat oleh semua pihak. Juga perlu adanya kesadaran dari masyarakat bahwa pendidikan itu sangat penting dan wajib untuk ditempuh sesuai dengan bunyi pasal 31 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 yaitu “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Ketika kemiskinan semakin menurun, infrastruktur penunjang pendidikan telah lengkap dan memadai, dan sekolah sudah tidak lagi kekurangan tenaga pendidik, serta kinerja perangkat desa telah sesuai dengan apa yang  diinginkan undang-undang, tidak lupa juga masyarakat desa yang telah sadar pentingnya pendidikan, maka desa akan menjadi basis peningkatan kualitas pendidikan dan ketika mencapai Indonesia emas di tahun 2045, kualitas pendidikan di Indonesia akan jauh lebih baik dibandingkan sekarang. 

 


DAFTAR BACAAN 

1. Buku 

BPS. 2019. Profil Kemiskinan di Indonesia September 2018, Jakarta: Badan Pusat Statistik

UNDP. 2000. Human Development Report 2000London: Oxford University       Press

2. Undang-Undang/Peraturan

Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

Menteri Dalam Negeri. 2015. Permendagri No. 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah DesaMenteri Dalam Negeri. Jakarta.

3. Internet

Prastya. Dinda. 2019. Kualitas Pendidikan di IndonesiaKompasiana. https://www.kompasiana.com/dinda24/5c812ffb43322f264762c3c5/kualita s-pendidikan-di-indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?