PELAKOR & PEBINOR DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

 

 Pelakor & Pebinor dalam Perspektif Hukum Pidana

 Oleh    : Risky Wulan Ramadhani ( FORMASI ) dan Abdurrahman ( KOPEMU )

 

Indonesia akhir-akhir sedang digemparkan oleh kasus yang ramai jadi sorotan publik, yaitu kasus tentang perselingkuhan. Perselingkuhan ini biasanya disebabkan oleh adanya pihak ketiga atau yang biasa disebut dengan "pelakor" atau “pebinor”. Pelakor sendiri merupakan singkatan dari Perebut Laki Orang, dan pebinor yakni Perebut Bini Orang. Sebutan – sebutan  ini biasa berlaku untuk pria/wanita yang menggoda dan menjalin hubungan dengan suami/isti orang. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa mereka dapat menjalin hubungan dengan orang yang terikat hubungan yang sah dengan pasangannya. Kata “pelakor dan pebinor” sudah popular sejak pertengahan tahun 2017 yang lalu. Khususnya dikalangan ibu-ibu dan wanita yang aktif menggunakan sosial media seperti facebook, instagram, twitter dan sebagainya. Sehingga banyak digunakan oleh orang-orang baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Bahkan, sampai saat ini kata pelakor sudah menjadi bagian dari bahasa popular di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Peradilan Mahkamah Agung, perceraian di Indonesia khususnya yang beragama Islam pada tahun 2019 mencapai 480.618 kasus. Angka tersebut mengalami peningkatan setiap tahun sejak 2015. Sementara itu, pada tahun 2020, per Agustus jumlahnya sudah mencapai angka 306.688 kasus.

 Berbagai kasus perceraian yang diakibatkan oleh adanya orang ketiga banyak terjadi dari berbagai kalangan, mulai dari rakyat biasa hingga artis dan pejabat, misalnya saja yang terjadi pada penyanyi Religi, NS, yang diduga sebagai pelakor atas rumah tangga keybordis SG, yaitu AS dengan RF, hingga akhirnya RR menggugat cerai AS ke Pengadilan Agama Jakarta Utara Medio pada bulan Januari 2021. Hal ini tentunya memicu komentar - komentar dikalangan netizen dan tak sedikit pula yang menyampaikan kritik pedasnya terhadap NS di berbagai akun media sosial. Stigma  buruk yang muncul di masyarakat selalu menyalahkan bahwa wanita lah yang menyebabkan hancurnya rumah tangga seseorang, namun pada kenyataannya lelaki pun disini menjadi penyebab rumah tangganya hancur karena tidak dapat mengontrol dirinya. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Psikolog dari Universitas Indonesia (UI) Rose Mini Adi Prianto mengatakan bahwa pemicu seseorang bisa selingkuh bisa bermacam-macam, Ia menanggapi kasus NS dan AS mengatakan bahwa salah satu penyebabnya bisa karena pekerjaan bersama dan pertemuan yang intens. Pertemuan yang terus-menerus menjadi pemicu adanya rasa ingin memiliki meskipun telah memiliki pasangan hidup.

Jika dilihat dari perspektif hukum pidana, “pelakor” tidak dikemukakan secara jelas dalam KUHP, namun hal ini merujuk pada perbuatan Perzinahan.

Adapun pengertian Perzinahan (overspel), merupakan tindak pidana kesopanan dalam hal persetubuhan dan masuk dalam jenis kejahatan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP yaitu:

(1)   Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

1.      a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

b.      seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, 

2.      a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga. 

(3)   Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75. 

(4)   Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai

(5)   Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Terdapat beberapa syarat seseorang dikatakan telah melakukan perbuatan zina, yaitu:

1.      melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suaminya atau bukan istrinya (orang ini tidak harus telah menikah);

2.      dirinya tidak tunduk pada Pasal 27 KUH Perdata;

3.      pasangannya yang melakukan persetubuhan itu tunduk pada Pasal 27 KUH Perdata

4.      diketahuinya bahwa pasangannya melakukan persetubuhan itu telah bersuami atau beristri, dan berlaku ketentuan Pasal 27 KUH Perdata berlaku bagi pasangannya bersetubuh itu.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209) menjelaskan lebih lanjut mengenai gendak/overspel atau yang disebut Soesilo sebagai zina adalah:

persetubuhan yang dilakukan oleh laki - laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki - laki yang bukan istri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak”.

Selain daripada pasal 284 KUHP diatas, dalam RKUHP juga diatur mengenai perzinahan yaitu dalam Pasal 417 RKUHP yang berbunyi :

(1)   Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II.

(2)   Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua, atau anaknya.

(3)   Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

(4)   Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

 

Adapun menurut penjelasan daripada pasal tersebut yang dimaksud dengan “bukan suami atau istrinya” pada ayat (1) adalah:

a.       laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;

b.       perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;

c.       laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;

d.       perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau

e.       laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.

Dan adapun yang dimaksud dengan “anaknya” pada ayat (2) adalah anak kandung yang sudah berusia 16 (enam belas) tahun.

 

Kemudian apabila salah satunya belum menikah, pelakor/pebinor (yang belum nikah) nya gimana?

            Berdasarkan Pasal 284 KUHP, Jika salah satunya saja yang terikat perkawinan, maka yang belum atau tidak terikat perkawinan itu disebut sebagai peserta zina. Sehingga apabila keduanya belum atau tidak terikat perkawinan, maka tidak ada pezina diantara mereka.

Akan tetapi, berbeda dengan apa yang dijelaskan dalam Penjelasan   Pasal 417 ayat (1) RKUHP, baik laki laki ataupun perempuan yang salah satu ataupun keduanya sudah terikat dalam status perkawinan adalah merupakan pelaku perzinaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan adanya pasal 417 RKUHP ini telah memperluas pengertian ataupun cakupan dari perbuatan perzinaan tersebut.

Ditegaskan pula oleh R. Soesilo bahwa Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (yang dimalukan).

Selain daripada yang dikemukakan R.Soesilo diatas, pihak lain yang dapat melakukan aduan yaitu orang tua pelaku dan atau anak kandung yang telah berusia 16 tahun (Pasal 417 ayat (2) RKUHP).

R. Soesilo menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah, maksudnya, apabila laki – laki atau perempuan yang belum menikah melakukan zina dengan orang yang sudah menikah, laki laki atau perempuan yang tidak terikat pernikahan tersebut harus juga dituntut kalau pihak yang berselingkuh dituntut.

 

Lalu bagaimana kalau terjadi perselingkuhan tanpa adanya persetubuhan?

 

            Pada prinsipnya, perkawinan - perkawinan menurut Pasal 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan perkawinan, dua orang diikat secara lahir batin maupun hukum. Oleh karena itu, segala perbuatan yang bentuknya penghianatan, dusta, mau menang sendiri dan bahkan perselingkuhan adalah hal yang patut dihindari.

            Akan tetapi, apabila dalam suatu kasus yang dimana salah satu pihak baik suami atau istri berselingkuh, hal ini merupakan perbuatan yang mengingkari prinsip perkawinan karena didalamnya terdapat kewajiban - kewajiban yang harus dipenuhi dalam satu keluarga untuk menegakkan rumah tangga yang ideal dalam masyarakat.

            Dan apabila suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing masing dapat mengajukan gugatan perceraian dengan alasan yang cukup. Akan tetapi, dalam hal perselingkuhan tersebut tidak terjadi suatu hubungan badan atau perzinahan hal tersebut tidak dapat dipidana.

 

Bagaimana jika perselingkuhan terjadi melalui media elektronik?

 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berbunyi “ setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Infornasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Maka data elektronik dapat dijadikan bukti untuk menyeret pelaku ke kepolisian apabila terbukti adanya informasi elektronik yang dikategorikan telah melanggar kesusilaan. Hanya saja hal ini tidak termasuk dalam kategori peezinahan sebagaimana Pasal 284 KUHP dan Pasal 417 RKUHP.

 

Bagaimana jika “pelakor/pebinor” menyebabkan keresahan dalam rumah tangga seseorang tanpa adanya rasa suka dari salah satu pihak baik suami ataupun istri?

 

Jika merujuk pada Pasal 335 ayat (1) KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 4.500:

Ke-1:  barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain.

 

 

Menurut R. Soesilo dalam buku “KUHP Serta komentar - komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal” (hal. 238), yang harus dibuktikan dalam pasal ini ialah adanya orang yang dipaksa secara melawan hak untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu berlawanan dengan kehendaknya sendiri. Pemaksaan itu bisa dilakukan melalui kekerasan, ancaman kekerasan, perbuatan tidak menyenangkan, atau ancaman perbuatan tidak menyenangkan.

Pada praktiknya, penerapan Pasal 335 KUHP oleh Mahkamah Agung (“MA”) menekankan pada penafsiran terhadap “unsur paksaan” sebagai unsur utama yang harus ada dalam rangkaian perbuatan yang tidak menyenangkan. Unsur paksaan, menurut MA, tidak selalu diterjemahkan dalam bentuk paksaan fisik, tapi dapat pula dalam bentuk paksaan psikis. Jika suatu perbuatan mengganggu kenyamanan rumah tangga orang lain (merasa dirugikan) dengan terus menggodanya maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan tidak menyenangkan dan dapat dijerat dengan menggunakan pasal 335 KUHP.

            Hal ini dapat dikategorikan juga sebagai pelakor/pebinor karena dikhawatirkan juga akan dapat menimbulkan permasalahan didalam keluarga yang bersangkutan sehingga merasa dirugikan oleh keberadaan pelakor/pebinor tersebut  meskipun hal ini berbeda jauh dari pengertian yang dijelaskan dalam Pasal 284 KUHP dan Pasal 417 RKUHP yang lebih mengarah kepada perzinahan.

 

Bagaimana jika kasus suami yang menikah lagi tanpa sepengetahuan istri sah nya (nikah siri) ?

Dalam hukum positif di Indonesia tidak mengenal adanya istilah perkawinan siri, terlebih lagi mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan perundang - undangan. Istilah 'siri sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti rahasia. Arti umum dari perkawinan siri adalah perkawinan yang sah secara agama. Namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah.

Sebagaimana diketahui, syarat sah perkawinan sudah diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan yaitu menurut agama/kepercayaan dan perkawinan dicatatkan. Kebanyakan, perkawinan siri dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pasangan sah nya.

Terdapat dua kemungkinan Pidana yang dapat diterapkan dalam peristiwa ini, yaitu:

a.       Pasal 279 KUHP

Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan SEMA No.4 tahun 2016 sebagai pedoman penerapan pasal 279 KUHP yang berbunyi : “bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang suami dengan perempuan lain sedangkan suami tersebut tidak mendapatkan izin istri untuk melangsungkan perkawinan lagi, maka Pasal 279 KUHP dapat diterapkan”

Dengan adanya pedoman tersebut, bisa saja pasal 279 KUHP diterapkan dalam kasus perkawinan siri apabila salah satu pasangan sah tidak mengizinkan adanya perkawinan itu.

b.      Pasal 284 KUHP

Pemberlakuan pasal ini harus mengikuti ketentuan yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan sebagaimana disebut sebelumnya tentang syarat sah perkawinan.

Bahwa perkawinan siri tanpa adanya izin dari pasangan yang sah dapat memberi ruang delik perzinaan sepanjang pelaku kawin siri tidak dapat membuktikan bahwa benar telah ada perkawinan yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan.

 

Bagaimana tindakan yang dapat dilakukan oleh istri sah yang merasa dirugikan?

 

Seorang istri yang merasa dirugikan akibat adanya perselingkuhan dapat mengadukannya ke kepolisian setempat, dengan adanya dasar perzinaan dan hendaknya pasangan itu sendiri yang melaporkan pasangannya, baru kemudian dapat diproses. Sementara untuk pihak dari pasangan yang diadukan dapat berlaku pula pasal 27 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa dalam waktu yang sama seorang laki - laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang wanita sebagai istrinya dan begitu juga sebaliknya, lebih dahulu setelah itu jika ingin menambah jumlah istri dalam jangka waktu 3 bulan dapat diikuti dengan permohonan bercerai atau pisah ranjang. Dengan adanya pasal ini dapat memberikan efek jera dikemudian hari.

Pada dasarnya upaya hukum pidana merupakan ultimum remidium (upaya terakhir) dalam penyelesaian suatu masalah, sehingga bagi pasangan sah yang dirugikan untuk lebih mengedepankan penyelesaian secara kekeluargaan, mediasi dan konsiliasi dengan pasangan (suami) maupun pelakor tersebut dengan mengingat tujuan dari suatu perkawinan itu sendiri.

Jadi, buat kalian yang punya soft skill atau berniat memiliki profesi jadi Pelakor atau Pebinor harus hati - hati dalam menjalankan aksinya. Diluar daripada itu seorang suami memiliki kewajiban untuk menjaga dan menghargai kesetiaan dari seorang istri karena belum tentu akan didapatkan pada wanita lain, begitupula sebaliknya. Keluarga yang baik dimulai dengan Cinta, dibangun dengan kasih sayang, dan dipelihara dengan kesetiaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?