Dilematisasi Pemenuhan Asas Fair and Trial Dalam Persidangan di Masa Pandemi Covid-19
Dilematisasi Pemenuhan Asas Fair and Trial Dalam Persidangan di Masa Pandemi Covid-19
Oleh : RIsky wulan Ramadhani
Pada tanggal 11 Maret 2020, organisasi kesehatan dunia atau WHO ( World Health Organization) menyatakan wabah pandemic covid-19 sebagai pandemi global karena telah melanda banyak negara khususnya di Indonesia. Banyak problematika yang dihadapi oleh dunia saat ini dari berbagai aspek, seperti pendidikan, ekonomi dan sebagainya karena segala kegiatan dialihkan melalui proses daring. Wabah virus COVID-19 juga telah mempengaruhi sistem peradilan di Indonesia, yang semula perkara diselesaikan di ruang sidang namun saat ini sudah teralikan melalui teleconference. Hal ini didasari pada adagium yang dikemukakan oleh filsuf romawi kuno Marcus Tuliius Cicero (106-43 SM) yang mengatakan “ solus populi suprema lex esto” bermakna keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Sehubungan dengan mekanisme persidangan perkara pidana secara online, MA melalui Dirjen Badilum juga telah mengeluarkan Surat Nomor 379/DJU/PS.00/3/2020 tanggal 27 Maret 2020 tentang Persidangan Perkara Pidana Secara Teleconference. Pengalihan sidang menggunakan teleconference tidak sepenuhnya berjalan baik karena adanya problematika terkait keabsahan bukti pada sidang pembuktian. Pembuktian sendiri adalah hal penting dalam peradilan untuk mengetahui terdakwa bersalah ataupun tidak.
Pengaturan mengenai pembuktian secara teleconference ini juga termanifestasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban., pada pasal 9 ayat (3) dijelaskan bahwa “saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi pejabat yang berwenang.” jika dibandingkan dengan UU No. 8 tahun 1881 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pasal 184 yang berbunyi “Keterangan Saksi adalah apa yang saksi nyatakan dalam persidangan”, maka ada pertentangan dari kedua pasal tersebut sebab pada KUHAP keabsahan keterangan saksi apabila dikatakan dalam persidangan dan tidak ada yang mengatur lebih lanjut terkait media dari video conference yang akan digunakan sebagai alat bukti yang sah ataupun tidak. Seperti yang dikemukakan oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, barang bukti yang diajukan seringkali tidak dapat diakses secara jelas. Selain itu juga karena terdakwa yang tidak dapat hadir dalam persidangan dan hanya dapat menjalani sidang tetap berada di lembaga permasyarakatan sehingga sulit bagi penuntut umum, hakim, dan penasehat hukum dalam menggali fakta-fakta dari terdakwa. Persoalan lain dalam sidang perkara pidana di masa pandemi adalah kurangnya pemenuhan hak-hak para pihak, serta masih banyak masyarakat yang belum bisa menggunakan teknologi informasi dan keersediaan jaringan di daerah tertentu yang masih kurang sehingga terganggunya mekanisme persidangan terutama sidang pembuktian pada pemeriksaan saksi.
Mengenai asas fair and trial juga sebenarnya belum terpenuhi sebab penggunaan dari teleconference justru akan ada keterbatasan pertemuan dan tidak dilaksanakan di ruang sidang. Dalam kajian singkat mengenai “Penyelenggaraan Persidangan Online di Tengah Pandemi covid-19 di 16 Pengadilan Negeri”, Ombudsman menemukan adanya potensi mal administrasi, yaitu adanya penundaan berlarut dalam pelaksanaan persidangan secara elektronik. Hal ini ditujukan dengan adanya temuan minimnya sumber daya petugas information and technology (IT). Akibatnya persiapan persidangan secara elektronik menjadi lamban, apalagi jika ada kendala teknis di tengah persidangan. Ombudsman juga menemukan ketidakjelasan waktu jalannya sidang, keterbatasan sarana dan prasarana seperti keterbatasan ruang sidang yang memiliki perangkat teleconference, jaringan internet yang kurang stabil sehingga proses persidangan secara elektronik tertunda lama. Kendala teknis lainnya adanya keterbatasan penguasaan teknologi oleh hakim, koordinasi antar pihak yang kurang baik, penasehat hukum tidak berdampingan dengan terdakwa, dan tidak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan atau dusta.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka penulis mengkaji bahwa penerapan teleconference khususnya pada sidang pembuktian kurang efektif dan asas dari fair trial tidak akan berjalan sempurna karena adanya problematika dan mengenai pembuktianpun tidak dapat dikatakan cukup akurat terlebih dengan hanya menggunakan alat komunikasi tanpa bertatapan secara langsung, karena adanya kerentanan manipulasi persidangan ataupun permainan perkara yang dapat mengubah fakta, kemudian karena adanya gangguan jaringan akan menyebabkan pembuktian tidak akan berjalan dengan baik kaena adanya komunikasi yang terhambat ataupun tidak didengar baik itu oleh jaksa, hakim maupun pengacara. Konsep dari fair trial haruslah dapat berjalan dengan baik dalam penegakan hukum di Indonesia agar hak-hak dari terdakwa maupun korban dapat terpenuhi demi tercapainya tujuan hukum yakni keadilan dan kepastian hukum. Segala kendala yang dihadapi justru menyebabkan kecacatan hukum dan menghilangkan kepercayaan masyarakat mengenai penegakan hukum di Indonesia. perlu adanya peran dari Pemerintah dalam mengoptimalisasi persidangan pembuktian di Indonesia di masa pandemi covid-19 dengan menggunakan teleconference dengan menyediakan infrastruktur yang mendukung dan dasar hukum yang jelas agar tidak terjadi unfair trial pada proses persidangan. Dalam mengoptimalisasi terkait persidangan secara online perlu adanya RUU KUHAP yang membahas secara komprehensif terkait persidangan online dan mengatur kekosongan hukum karena SEMA yang dibuat tidak selamanya mengatur tentang permasalahan ini dan tidak dapat mengatur hukum acara. Kemudian pada PERMA seharusnya diatur lebih lanjut terkait sidang pembuktian untuk kasus apa saja yang harus dilakukan secara langsung tatap muka maupun secara teleconference dalam persidangan.
Komentar
Posting Komentar