FEMINISME DI TENGAH BUDAYA PATRIARKI YANG MASIH TUMBUH SUBUR

FEMINISME DI TENGAH BUDAYA PATRIARKI YANG MASIH TUMBUH SUBUR

                                 
 
Oleh : Miptahul  Jannah
       
 " (Feminisme bukan mengenai bagaimana cara membuat wanita semakin kuat. Wanita sudah menjadi sosok yang kuat. Feminisme adalah cara merubah pandangan dunia untuk menerima eksistensi kekuatan tersebut)"
          _G.D. Amderson

      Berbicara mengenai feminisme penulis rasa sudah tidak asing lagi ditelinga kita karena akhir-akhir ini banyak sekali dari kaum perempuan yang melakukan gerakan dan menyuarakan terkait feminisme ini, dan kerap kali di bahas dalam ruang-ruang diskusi. 

     Feminisme bisa  di katakan sebagai wajah dari banyak perempuan dan laki-laki yang diwujudkan dalam pemikiran-pemikiran dan ekspresi yang berbeda. Akan tetapi, semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu adanya keinginan membangun kesetaraan untuk perempuan di seluruh aspek kehidupan.

     Dari tahun ke tahun feminisme semakin sering terdengar, bahkan sampai sekarang masih banyak perempuan yang menggaungkannya akan tetapi tidak bisa disangkal tantangan dan hambatan untuk mewujudkannya selalu ada contohnya saja  yang sering kita dengar ketika perempuan menyuarakan feminisme untuk mencapai kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Banyak sekali yang menentangnya dikarenakan keliru dalam memahami kesetaraan gender ini tidak sedikit yang beranggapan keinginan perempuan untuk mencapai kesetaraan gender dengan laki-laki adalah salah satu upaya yang di gunakan untuk melemahkan laki-laki dan ingin berada di atas laki-laki.

     Jika kita pahami mengenai kesetaraan gender ini adalah untuk memperbaiki relasi gender bukan memperkuat salah satu jenis kelamin dengan mengorbankan yang lain. Sehingga perlu kita memahaminya lebih jauh lagi.

      Selain itu juga budaya patriarki yang masih begitu kental dan mendarah daging dalam setiap lapisan masyarakat juga sangat berpengaruh  dan seringkali menyepelekan kaum perempuan. Masih banyak anggapan bahwasanya perempuan berada dibawah laki-laki. 

     Anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, tidak boleh keluar larut malam, menghabiskan waktunya untuk mengurus rumah, menaikkan timba dari sumur untuk keperluan cuci baju dan piring. Stigma  pembodohan dari kontruksi sosial ini jika kita lebih memilih untuk bungkam tanpa berusaha melakukan perubahan maka keberadaan perempuan akan selalu dianggap seperti demikian.

    Patriarki dalam masyarakat merupakan penyebab ketidak adilan, adanya dominasi dan subordinasi terhadap perempuan. Sehingga sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesetaraan gender. kesetaraan gender tidak hanya menghargai hak-hak perempuan tetapi juga mengkritik nilai-nilai maskulinitas “toxic” yang diajarkan dan dianut oleh patriarki itu sendiri. 

     Namun tidak banyak juga orang-orang yang mengatakan bahwa feminisme ini sudah tidak perlu di suarakan lagi karena perempuan pada saat ini sudah maju, sudah mendapatkan haknya, dan setara dengan laki-laki.  Perlu kita pahami bersama bahwa feminisme adalah gerakan yang menentang diskriminasi, eksploitasi  dan marginalisasi terhadap jenis kelamin perempuan.

     Tentunya kita tahu betul kekerasan seksual, pemerkosaan, masih banyak terjadi. Dan inilah salah satu penyebab mengapa perempuan sampai saat ini masih menyuarakan feminisme.  Kita tidak boleh menutup mata terkait itu dan membiarkannya tumbuh subur. Esensi dari perjuangan feminisme adalah untuk memanusiakan manusia. banyak fenomena dalam masyarakat yang terjadi terkait kasus kekerasan seksual terhadap perempuan akan tetapi malah menyudutkan kaum perempuan itu sendiri. 

     Terlebih lagi jika hal itu terjadi di sekitar kita, sebagai perempuan seharusnya kita  berani bersuara tanpa berpikir dua kali dan sesegera mungkin mengambil tindakan. Bukan duduk diam menunggu intruksi dari orang lain baru bergerak. Sangat konyol sekali jika memang seperti itu. 

    Penulis teringat dengan sosok perempuan yan menjadi bagian dari perjuangan Indonesia dan pelopor emansipasi perempuan yaitu  R.A Kartini yang mengatakan “ia tidak wajib patuh kepada siapapun, siapapun juga, kecuali terhadap suara batinnya, hatinya”.

     Kekuatan terbesar yang dimiliki perempuan adalah ketika dia mencintai dirinya, menjadi dirinya, dan bersinar diantara mereka yang tak percaya bahwa kaum perempuan mampu melakukannya.  

      Lebih miris lagi ketika  dari kaum perempuan itu sendiri yang memojokkan perempuan lainnya misalkan saja, menyalahkan gaya berpakaiannya yang seksi dan terlalu terbuka sehingga  laki-laki tergoda.  Jikalau memang seperti itu, apa kabar dengan perempuan-perempuan bercadar dan berpakaian jauh dari kata terbuka akan tetapi tetap dilecehkan. Apakah kita juga harus salahkan pakaiannya ataukah cadarnya?.  Rasanya terlalu dangkal jika kita berpikiran seperti itu. 

     Dari sekian banyak kasus serupa yang terjadi sudah selayaknya jika perempuan harus lebih berhati-hati, terlebih lagi perbuatan itu bisa terjadi dimana saja, tidak mengenal tempat, dan dilakukan oleh siapa saja. Karna orang yang berpendidikan tinggi  dan sangat  paham akan hukum pun tidak bisa di jamin untuk tidak melakukannya. 
 
     Sebagai perempuan  kita harus merdeka. Merdeka atas tubuh kita, atas apa yang menjadi milik kita, dan jangan mau disederhanakan apalagi di pandang sebelah mata. Perempuan harus berani mengambil jalan lain bukan hanya duduk diam dan lebih memilih berada di zona nyaman tanpa mau tahu bagaimana fenomena sosial yang ada. Akan tetapi sebagai perempuan kita harus peduli terhadap nasib perempuan lainnya .

     Perempuan tak melulu soal parade kecantikkan, karena menjadi perempuan yang cantik dan baik saja tidak cukup. Bukan pula modal untuk kemajuan bangsa dan negara.  Perempuan harus berani bertindak dan mengambil peranan besar di tengah-tengah diskriminasi dan penindasan. Berusaha saling merangkul dan berjalan seirama memperjuangkan hak-hak yang seharusnya memang didapatkan. Dan berjuang memperoleh  persamaan, kebebasan, otonomi, serta kesetaraan hukum. 

"( Berlari dan bukalah gerbang yang dikunci dengan gembok besar itu. Kau tidak perlu menjadi figur yang disembunyikan lagi. Buktikan bahwa dirimulah bunga revolusi itu)".
_Miptahul J.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?