TANTANGAN EKSISTENSI K-POPERS REMAJA DALAM MENGHADAPI ERA POST TRUTH
Era
Post Truth yang ditandai dengan majunya teknologi informasi semakin
memudahkan dalam memproleh informasi dengan cepat, mudah dan murah. Semakin
terbukanya era ini terlihat dari remaja di Indonesia yang banyak mengidolakan
Korean pop yang disingkat K-pop. K-pop merupakan genre music populer yang
berasal dari korea selatan. Tidak bisa dimungkiri peran media sosial dalam
mengenalkan K-pop di Indonesia sangat vital. Akan tetapi, media sosial juga seolah
menjadi saluran untuk memberikan hujatan bagi penggemar K-pop (K-popers),
dikarenakan hoax (berita bohong) yang semakin deras. Bukan karena sedikitnya
informasi, melainkan karena terlalu banyaknya informasi sehingga informasi yang
objektif menjadi tertutupi oleh informasi-informasi yang tidak objektif,
layaknya menemukan jarum dalam tumpukan jerami, inilah era pasca kebenaran (post
truth).
Anggapan
bahwa Idol K-pop adalah pria-pria lembek, LGBT dan operasi plastik menjadi
senjata utama para haters untuk menyerang K-popers melalui media sosial. Komentar
pedas para haters K-pop di media sosial seringkali menjadi pemicu perang
komentar saling hujat dan fitnah. Banyaknya informasi yang berbeda dalam hal
yang sama menjadi penyebab antara K-popers dengan kelompok lain (hatersnya)
berbeda pandangan dengan cara saling memaki di media sosial. Stereotip negatif yang
dilekatkan pada K-pop, membuat ruang gerak para K-popers terbatas. Label negatif
yang dilekatkan pada K-pop, membuat para K-popers terutama yang masih terbilang
remaja, mengalami bullying hingga pertentangan dalam keluarga.
Fenomena
saling hujat dan fitnah antara K-popers dengan hatersnya di media sosial
sangatlah buruk, karena menggunakan Bahasa kasar yang tidak sesuai dengan nilai
dan norma dalam masyarakat. Sejarah pengalaman masyarakat Indonesia dalam hal perkelahian
di media sosial, seringkali tidak hanya sampai ruang maya, namun juga berimbas
pada ruang nyata. Untuk itu, hidup selaras dengan alam melalui pengendalian
emosi negatif dalam diri K-popers remaja di Indonesia sangat dibutuhkan dalam
era sekarang ini.
Indonesia
menempati urutan ketiga di dunia sebagai negara dengan jumlah K-popers atau K-pop
fans dengan presentase 6,5% setelah Amerika Serikat dengan 35,6% dan Philipina
sebanyak 7,5%.9. Sebagai makhluk sosial dalam menunjukkan eksistensinya K-popers
di Indonesia membentuk kelompok-kelompok berdasarkan fandomnya masing-masing
yaitu idol K-pop yang mereka sukai. Kelompok K-popers yang terbentuk berdasarkan
rasa suka dalam hal yang sama, tidak hanya terbentuk di dunia nyata, namun juga
dalam ruang maya.
Remaja
penggemar K-pop di Indonesia seringkali mengalami cemoohan akibat seterotype
negatif yang dilekatkan pada K-pop. Persepsi-persepsi negatif dari orang lain
seringkali menjadi penghalang para K-popers yang masih remaja untuk menunjukkan
identitasnya, karena remaja masih tergolong labil sehingga sangat mudah
dipengaruhi oleh pikiran orang lain.
K-popers
memang memerlukan orang lain sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Namun,
Hal buruk dari orang lain adalah karena orang lain dapat mengkonstruksi hidup suatu
individu, dalam hal ini K-popers sebagaimana apa yg dia pikirkan. Orang lain
akan selalu menilai setiap tindakan suatu individu atau kelompok. Untuk itulah
jeans paul Sartre mengatakan bahwa ‘orang lain adalah neraka’.
Setiap
tindakan akan selalu bermuatan negatif dan positif tetapi kebanyakan orang
mengkonstruksi tindakan suatu individu dengan satu kesalahan dan melabelkan
akan seluruh tindakannya. jika individu bersalah dalam satu tindakan bukan
berarti kepribadiannya melingkupi satu tindakan tersebut. Manusia selalu hidup
pada penilaian dan harapan orang lain. itulah sebabnya manusia mencoba menjauhi
hal buruk tetapi tidak menutup kemungkinan hal buruk pasti pernah dilakukan,
namun jangan membentuk suatu individu dengan tindakan buruknya menjadi
kepribadiannya.
Setiap
orang punya waktu untuk berubah, setiap ulat punya waktu untuk bisa menjadi
kupu-kupu, setiap tumbuhan punya waktu untuk berbunga. Jika individu dalam hal
ini K-popers membiarkan penilaian orang membelenggu hidupnya, hal tersebutlah
yang memunculkan kepribadian buruk. Tidak ada satu pun orang yang ingin menjadi
orang yang buruk, akan tetapi hal buruknya orang lainlah yang datang
mengkonstruksi hidup individu penggemar K-pop.
Dibalik
penampilan K-popers yang dianggap buruk oleh sebagian masyarakat Indonesia
bukan berarti tindakan mereka buruk. Hanya saja individu penggemar K-pop berbeda
dan membentuk kelompok yg mereka inginkan. Sama halnya dengan cosplay
anime yang sering di jalan berpenampilan berbeda, mereka diajak berfoto dan
digemari. Begitu juga dengan fans club sepak bola yang dengan bangga
menggunakan baju clubnya, bahkan menyerupai gaya rambut pemain idolanya. Artinya
label buruk terhadap K-popers sebenarnya masih berdasarkan penilaian yang
terbentuk dalam pikiran individu itu sendiri, bukan dari Fakta sosial yang
terjadi.
Kpopers
dalam menghadapi era post truth membutuhkan stoisisme. Stoisisme adalah
filsafat barat yang mengajarkan persaudaraan universal. Di tengah dunia yang
terpolarisasi oleh berbagai macam golongan. Stoisisme mengajarkan untuk
memprioritaskan mengendalikan diri sebelum mengendalikan kehidupan orang lain.
Stoisisme bertujuan untuk dapat hidup bebas dari emosi negatif dengan
memfokuskan mengendalikan emosi negatif agar memproleh ketentraman hidup.
Ketentraman ini kokoh karena berakar dalam diri individu. Sekarang, era dimana hoax
beredar menyebabkan perbuatan saling fitnah antara K-popers melawan hatersnya
di media sosial, mengartikan bahwa stoisisme sama relevannya dengan Indonesia
saat ini.
Stoisisme
menganggap manusia harus hidup selarasa dengan alam jika ingin hidup yang baik.
Hidup selaras dengan alam artinya harus sebaik-baiknya menggunakan nalar dan
rasio (akal sehat) karena itulah yang membedakan manusia dengan binatang.
Misalkan ada suatu kejadian ketika K-popers membaca tulisan provokatif di media
sosial dan langsung emosi, sehingga marah-marah di kolom komentar, membagikan
tulisan itu ke banyak orang tanpa mengecek dulu kebenarannya. Dari contoh
diatas K-popers tersebut tidak menggunakan nalar dan rasionya.
Segala
keresehan dan kekhawatiran bersumber dari pikiran manusia. Seringnya manusia
memberikan interpretasi yang dialami banyak menjadikan peristiwa terlihat
buruk. Suatu kejadian dipandang buruk ketika persepsi manusia menyebutnya
buruk. Untuk itulah yang diperlukan K-popers dalam era post truth ini
adalah mengubah persepsinya. Karena marah, cemas, susah datangnya dari pikiran.
Memasuki
era post truth, potensi saling hujat dan fitnah antara K-popers yang
masih remaja dengan hatersnya semakin besar. Remaja penggemar K-pop di
Indonesia seringkali mengalami cemoohan akibat stereotip negatif yang
dilekatkan pada K-pop. Pikiran negatif orang lain terhadap K-pop seringkali
mempengaruhi tindakan K-popers. Hal buruk dari orang lain ialah orang lain
dapat mengkonstruksikan kehidupan K-popers sebagaimana apa yang dipikirkannya,
walaupun hal tersebut bukan fakta sebenarnya, oleh karena itulah ‘orang lain
adalah neraka’.
Hidup
selaras dengan alam yaitu menggunakan nalar dan rasio sangat dibutuhkan oleh K-popers.
Mengendalikan emosi negatif dengan mengubah pikiran negatif orang lain menjadi
pikiran yang positif, K-popers dapat hidup dengan tentram, karena sumber segala
keresahan, marah dan cemas adalah pikiran itu sendiri.
Keren
BalasHapus