TIRAI RAHASIA

 TIRAI RAHASIA

Oleh: TamuTemu


Dalam satu kali tarikan nafas, gadis itu akhirnya mulai menyudahi gundah yang sejak tadi tercipta akibat pikiran yang tak kunjung mau untuk sekedar membawa diri pada pengasingan, yang syukur bila dirasa gadis itu bukanlah rumah yang tepat untuk ia singgahi, dan berakhir memberikan gundah tak berkesudahan.


Matanya berkelana, nampak jelas wajahnya itu menyimpan sejuta tanya. Tentang tempat, manusia, bahkan daun yang kini tak lagi menghinggapi ranting ikut terseret dalam kebingungan yang gadis itu ciptakan. Ya, ini musim gugur. Terakhir kali gadis itu menginjakkan kaki di sini, mungkin musim panas tahun lalu, ah sudah, dia tidak mau mengingatnya.


“Huh!” Nafas itu kembali terdengar. Masih sama dengan puluhan tarikan nafas yang kemarin, nampak sekali bahwa berada di sini bukanlah satu dari sekian banyak hal yang menjadi cita-citanya.


“Ila!” Persis saat kakinya ingin menginjak pelataran perpustakaan Kota Tua, ia menoleh ke kiri dan kanan. Menyusuri tiap tempat dimana mata itu dapat melihat, mencari keberadaan sosok yang entah bagaimana punya suatu yang membuatnya ingin cepat mendapati.


Ah sial! dia salah!


“Ya! Aku tahu, nama Ila bukan hanya milikku. Ada ribuan manusia dengan nama yang sama. Tapi kenapa bisa kebetulan begini? ini membuatku jengkel.” Gadis bernama Ila itu menggerutu, menatap jengkel sepasang kekasih yang terus tertawa di depannya.


“Jatuh cinta menyenangkan ya? Ila?” Tiba-tiba saja ada tangan yang bertengger di bahunya, sosok pemilik tangan itu terlihat sedikit berjinjit. Ia terlihat begitu memaksakan diri untuk berada dalam posenya yang sekarang.


“Jangan panggil aku Ila.” Nampaknya, Ila masih kesal, wajahnya masih muram. Entah karena tadi ia sempat berharap, atau lagi-lagi karena ia tak suka berada di sini, berada di daerah Kota Tua yang tak begitu disukainya. Mungkin benci?


Bukannya setiap hal punya alasan? dan setiap manusia juga berhak punya pembelaan?


“Kamu kenapa kesal? Apa harimu tidak menyenangkan, Ila? kamu seharusnya senang hari ini. Kamu lahir di Kota Tua bukan? sudah lama sekali kita tidak kesini. Dua hari lagi kota ini sudah mulai dihancurkan. Hah…rasanya aku ingin memuaskan mata melihat apapun di sini, tempat ini memang masih jauh dari kata modern, tapi seperti katamu tepat dua tahun yang lalu, tempat ini selalu punya ketenangan.” Gadis gembul itu nampak begitu menikmati harinya. Kota Tua ditambah matahari yang tak begitu terik merupakan kedamaian sesungguhnya.


“Kamu terlalu membesarkan Kama. Tempat ini sama saja, tidak ada yang spesial, sama seperti tempat-tempat lain di negara ini.” Ila melengos pergi, kalimat yang dilontarkan Kama barusan begitu menohok hatinya. Ada sepercik rindu yang tak ia undang mulai menjalar dan Ila akan berusaha untuk tidak membuatnya tumbuh subur.


Ia sudah bertekad, musim panas tahun lalu saksinya.


Rembulan yang berhasil menggelar pesta megah bertabur bintang di atas sana sama sekali tidak menaruh peduli akan kabar gadis bernama Ila yang masih juga dilanda gundah bahkan ketika ia sudah menghabiskan lima jam sia-sia pada taman Kota Tua yang sejak tadi juga turut memperoloknya.


“Ila, Ayo! tersisa empat puluh menit lagi sebelum acara dimulai. Kenapa aku harus ikut dihukum atas perasaan sukamu terhadap Rakab itu.” Katakanlah kali ini Kama ikut kesal, bayangkan waktunya yang berharga juga terbuang sia-sia sebab sahabatnya ini terus merasa tidak baik hatinya. Tapi sebenarnya, Ila sudah memohon pada Kama agar gadis itu bisa pergi berkeliling kota, menikmati berbagai bangunan sebelum nantinya kota ini akan berganti secara keseluruhan. Tapi apa boleh buat, Kama tak mungkin tega membiarkan Ila melamun seorang diri di taman Kota Tua.


“Ayo tunjukkan pada Rakab, tunjukkan pada dunia bahwa temanku ini tak kalah hebat dari anak Presiden itu. Kau peraih mahasiswa terbaik semilar 1, itu artinya kau pantas untuk seseorang yang sehebat dirimu. Sudah! lupakan saja teman kecilmu itu, akan ku pastikan nanti banyak pemuda tampan yang bisa kau ajak berkenalan.” Kama tak tinggal diam, ia menarik paksa tangan Ila agar segera mengubah posisinya, mereka harus segera bersiap.


Sedang gadis ini, gadis yang menjadi tokoh utama dalam kisah ini. Hatinya terus saja memberontak, menyahuti dengan sewot bahwa yang dikatakan Kama itu salah. Tak kan ada laki-laki sebaik Rakab, ia tetap yang terbaik, mengingat apapun yang terjadi beberapa tahun terakhir.


Gadis dengan pakaian terbaik yang ia miliki itu terus berjalan dengan wajah tidak bersemangat, berbanding terbalik dengan sahabat dekatnya yang di wajahnya penuh dengan tawa dan sapa hangat untuk siapapun yang mereka temui.


“Kau harus tersenyum! Ayo tersenyum! Biarkan satu dunia melihat, kalau senyum yang kau miliki sangat indah jika dilihat.” Entah bagaimana, kalimat yang terdengar asal dari Kama barusan sangat mampu mempengaruhi bagaimana keadaan hati seorang Ila bisa mengalami musim semi, menumbuhkan Kembali semangat yang sejak tadi berusha menggapainya.


Hari sudah cukup larut, tapi para tamu undangan yang hadir rupanya masih belum ingin meninggalkan hotel mewah ini yang tengah diisi riuh bising dari pertunjukkan hiburan yang ada, Kembali memperolok bagaimana riuh mereka tak pernah mampu menyudahi isi kepala yang tak kunjung sepi dari hingar bingar.


Ranum yang sejak tadi tak punya daya, akhirnya meraih kata mampu untuk mendapat alasan pasti garisnya harus tertarik sempurna kali ini. Pikiran yang sudah merampungkan diri kala mata berhasil menangkap sosok yang sejak awal menjadikan ribuan pertanyaan harus menahan diri kala jawaban tak pernah mampu untuk sekedar dicari.


Di ujung sana, Rakab di sana.


Riuh yang tercipta takkan pernah sebanding dengan pacuan jantung yang terus berdetak memberitahu si pemilik bahwa ada sesuatu yang kini menjalar dalam dirinya. Luasnya tempat ini seperti ruang kosong gelap yang hanya ada satu cahaya penghidupan di sana, semarah-marahnya Ila, seorang Rakab tetaplah punya kendali penuh atas bahagianya, yang semestinya ia tahu tak sepantasnya diberikan pada orang yang telah menyumbang banyak rasa sakit.


“Aku terus mencarimu sejak tadi.” Rakab tersenyum, laki-laki itu mengayunkan tangannya ke depan.


Ila tak langsung membalas, butuh satu menit untuk ia sadar, bahwa yang sekarang berdiri di depannya adalah Rakab, sosok yang menjadi alasannya tak mau menghadiri upacara penghormatan untuk lulusan terbaik semilar di negara ini.


Tapi hati tetaplah hati, Ila menyambut tangan itu, tersenyum tanpa mengatakan apapun. 


“Rakab!” Pandangan keduanya teralih, menyorot pada sosok gadis cantik yang kini berjalan ke arah keduanya. Melambai tangan yang disambut senang oleh Rakab.


Apa dia, anak presiden itu?


“Perkenalkan Ila, dia Mara, anak kedua dari presiden negara ini. Orang paling berpengaruh di negara kita.” 


Mara tertawa, “kamu terlalu membesarkan, Rakab. Halo Ila, selamat datang, apa kau menikmati pestanya?”


Ila tersenyum kecil, dia tidak bisa bohong, hatinya sakit dan dia tidak punya daya untuk mencaci gadis ini sekarang juga. Lagi pula, akan terlihat aneh jika Rakab malah jatuh cinta dengan dirinya, dilihat dari segi apapun gadis bernama Mara ini sangatlah sempurna. Bahkan Ila yakin, sudah banyak laki-laki yang melamarnya, mungkin juga Rakab?


Ila terlalu merasa kecil.


Baru saja Ila ingin melangkahkan kakinya pergi, namun pergerakannya itu tidak berhasil menciptakan langkah baru karena nyatanya Rakab menahan pergelangan tangannya.


“Mara, maaf. Aku dan Ila harus membicarakan sesuatu, mungkin tentang perpustakaan kota tua bisa kita bicarakan di lain waktu.”


“Ah, baiklah. Aku juga harus menemui Papa, lihat!” Ia menunjukkan pergelangan tangannya, bertengger manis sebuah tempelan bundar tipis yang memperlihatkan jam dan juga tulisan papa menunggumu Ra.


“Baiklah, sampai jumpa Rakab, sampai jumpa Ila.”


Seperginya gadis itu, Rakab tak juga melepas genggaman tangannya. “Mau berjalan-jalan sebentar Ila? Kita sudah lama tidak berjumpa.”


“Boleh.” Ila tak punya daya untuk melepas genggaman itu, ia seperti orang yang tidak punya pendirian.


Tak jauh dari tempat acara, memangnya mereka mau kemana? Rembulan di atas sana sudah menyorot sejak tadi, pantulan cahaya terang itu bahkan sudah memberi peringatan. Tak lagi ia tampilkan gemilang bintang, yang ada hanya secercah cahaya yang setengahnya sudah tertutup awan dengan langit gelap yang membentang menguasai.


Sunyi dengan lancang turut hadir memeriahkan pertemuan teman lama yang kini tengah riuh atas isi kepala masing-masing. Membenamkan diri pada alunan suara bising yang tercipta akibat tak tahu harus apa kini. Membiarkan kali ini, suara deru nafas yang menjadi nyanyian kala debaran turut ikut sebagai melodi.


“Apa kabar?” Tangan tak terbalut itu sudah mampu mengindahkan hasil kerja otak yang sepantasnya dilakukan sejak tadi.


“Kabar ku baik, La. Bagaimana kamu?”


“Aku baik-baik saja. Apa di sini masih sama? Ah, Kota Tua akan berubah banyak.” 


“Tidak pernah ada yang sama sejak dua tahun yang lalu. Ah iya, kamu hebat. Peraih mahasiswa semilar 1! Anak kecil yang dulu ku temui menangis karena coklatnya jatuh, kini sudah jadi gadis terkenal. Hahahaha…”


“Apanya yang lucu?!” 


“Aku tidak pernah tahu seorang Ila suka belajar. Apa yang membuatmu mau belajar? Bahkan dulu Ibu sampai menangis karena anak gadisnya ini tidak pernah mau belajar,” Rakab terkekeh lagi.


“Hish… kamu yang tidak tahu aku. Sok tahu! Aku suka belajar, aku suka menyibukkan diri dengan belajar.” 


“Apa yang kau lakukan dua tahun belakang, Rakab? Kenapa belum juga meninggalkan kota Tua? Sebentar lagi kota ini akan dibangun ulang, semua bangunan akan berubah. Berganti dengan gedung-gedung tinggi seperti di pusat kota. Termasuk tempat ini…” Ila menghentikan langkahnya, tepat saat kaki itu selangkah lagi menginjakkan diri pada pelataran perpustakaan kota tua.


“Tempat masa kecil kita…” Rakab bergumam pelan.


“Ngomong-ngomong, bagaimana pusat kota? Apa menyenangkan hidup di sana?” Rakab antusias dengan pertanyaan sendiri.


“Kamu belum jawab pertanyaanku!” 


“Anak presiden tadi, teman yang ku perkenalkan—“


“Kekasihmu?”


“Mara?”


“Siapa lagi?!” Ketus Ila.


“Buk—“


“Kalian cocok.” Ila tertunduk, tak sanggup ia mengatakan hal itu sembari menatap dua mata yang tak bohong ingin ditatapnya lama.


Rakab tersenyum, dengan perlahan ia melangkah, mendekap hangat Ila yang nampak kedingingan. “Sewaktu kecil, saat kita dengan nakal berkeliling malam tanpa menggunakan jaket saat musim gugur, Ila kecil selalu merengek karena kedinginan, lalu seorang Rakab selalu ada untuk memeluknya dan akan dilepas jika Ila sudah merasa lebih hangat. Kenapa tidak bawa jaket? Apa kau masih merasa dingin? Ini cukup hangat bukan?” Rakab mengusap halus punggung Ila, menyalurkan segala hangat yang ia punya.


“Aku sudah besar, Rakab. Aku ingin pulang.” Dengan langkah tak beraturan, gadis itu cepat meninggalkan Rakab yang masih diam di tempat.


“Ila!


“Tugasku untuk kota ini sudah selesai. Mari jatuh cinta sekali lagi. Kali ini, kita lakukan dengan benar.”









Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?