RUANG ABADI

RUANG ABADI

Oleh: TamuTemu


Genap sudah satu jam. Dengan kata mampu sebagai penopang, ia berjalan perlahan mendekati sebuah foto di sudut ruang yang menjadi fokusnya sejak awal. Tangan itu terulur untuk dengan hati-hati meraba wajah sang kasih yang begitu di damba hadirnya.

Sejak awal, sejak kisah ini di mulai. Tidak pernah satu detikpun ia membiarkan bayangan itu tak menghampirinya. Mencoba mencari cara agar nantinya tak seperti itu lagi, namun gagal sudah pasti jadi sebuah jawaban. 

Satu tarikan nafas begitu dalam berhasil lolos, hingga perasaan sesak kian jadi menyelimuti. Ia harus, agar jawaban pasti akhirnya didapat.

CKLIK

Gelap. Dengan sisa-sisa cahaya, netranya Kembali ia fokuskan pada sosok dalam foto itu. Runtuh sudah pertahanannya, ia menangis bersamaan dengan pintu yang mulai tertutup. Dia tidak berniat melupakan, itu sebuah kebahagiaan.

Yang menyedihkan.

Amerta berarti abadi. Keabadaian yang lambat laun terus menyeruak menggerogoti sang tokoh utama yang nyatanya memang tak ingin melepaskan diri. Waktu yang tidak sebentar ini juga belum mampu mengusik kenyamanan sang masa lalu agar sesegera mungkin menghentikan segala upaya yang menyebabkan perasaan tak berdaya benar adanya.

Gemerlap remang di sudut kota Kembali menghadirkan bayang-bayang kala itu, di mana gadis cantik sang pujaan hati masih menguasai begitu dalam kehidupan Naka.

Dia, Naskala Bamantara. Laki-laki berpakaian seadanya namun masih terlihat rapi itu terus mendongakkan kepala menghadap sang rembulan. Tak peduli seberapa keras jejeran bintang menertawakan kondisinya, namun mata itu tak pernah sedetikpun ia arahkan turun.

Entah apa yang ia harapkan, bintang jatuh? Lalu membuat permohonan. Atau sekedar mencari bintang mana yang paling terang di antara ribuan bintang di atas sana.

Senyum tipis terbit di ujung bibir. bila saja dia ingin, sudah ribuan gadis akan senang hati menjalin ikatan dengannya. Tapi apa boleh buat, gadis manis Bernama Sanoja sudah lebih dulu membuat Naka jatuh hati. Ia akan dengan senang bermanja bilamana gadis itu datang.

“Cantik ya?” dagu terbelah itu menunjuk hamparan langit bertabur gemerlap bintang yang memang benar indah.

“iya, cantik.” Laki-laki dengan obsidian terfokus pada satu objek itu sudah tidak perduli pertunjukkan apa yang langit mainkan hingga gadisnya begitu larut pada indahnya. Yang dia perdulikan hanyalah betapa cantik gadis bernama Sanoja saat itu.

Sebenarnya jika ingin dibandingkan, Sanoja ini bukanlah gadis popular dengan penggemar puluhan ribu orang. Dia hanya gadis biasa, tapi jika boleh Naka ungkapkan, gemerlap rembulan belum cukup mampu mengalahkan sinar Sanoja. Dia cantik, teramat.

“Naka, lihat bulannya! Jangan lihat aku terus, malu!” pekiknya tertahan, tapi nyatanya wajah itu sudah merah sekali.

Bagus sekali Naskala, lihat hasil perbuatanmu!

“kenapa malu? Aku pacarmu.” Dengan santai Naka menjawab, mengikuti bagaimana intruksi barusan membawa indranya menatap ke atas. Membiarkan Sanoja bermain dengan perasaannya. Jika boleh jujur, sudah gemas sekali Naka ingin mencubit kedua pipi gadisnya. Tapi dia paham, dia tidak ingin Sanoja merasa malu lebih dalam.

Setelah beberapa saat, Naka merasa sesuatu hangat menyentuh lembut jemari lentiknya dengan pemilik yang sudah pasti. Ia menoleh, mendapati Sanoja sedang menatapnya serius. “Naka,” panggil Sanoja pelan.

Tidak tinggal diam, tubuh itu ia gerakkan agar obsidian lembut milik Sanoja dapat dengan nyaman ia lihat. “katakan, Sanoja.”

“apa jaminan kita tidak akan saling menyakiti?”

“tidak ada.”

“mengapa?” gadis dengan rambut tergerai yang dibiarkan mendayu akibat angin malam itu benar ingin mengetahui mengapa pria di hadapannya ini menjawab seperti itu. Bukankan akan lebih menyenangkan bila aksara romantis yang ia pilih untuk di utarakan?

“perihal menyakiti itu pasti berpeluang, sebaik apapun manusia ia tetaplah seorang manusia. Tapi bukan perkara sulit jika cinta itu sudah bersarang, Sanoja.” Hendak Kembali melanjutkan, namun atensinya sudah lebih dulu menangkap sosok lain yang rupanya ingin memberi tahu sesuatu namun tampak ragu.

Tidak diperdulikan lebih jauh, atensinya Kembali ia pusatkan, pada gadis yang memang benar adanya bahwa ia telah pergi.

Senyum seadanya itu kemudian menjelma mencorakkan senyum lebar namun begitu sendu rupanya. Kisahnya Bersama Sanoja sudah selesai. Sejak kematian memisahkan keduanya.

Naka ingin pamit, cukup sudah ia berkelana malam ini. Kisahnya itu akan ia relakan, karena ikhlas sudah pasti menjadi obat lukanya. Sanoja abadi, dalam dirinya.

Karena nyatanya abadi dalam keabadian itu tidak butuh tertulis tebal dalam sebuah buku kisahnya. Cukup dengan kamu melihat pada ujung ruang tempat bersama lalu kamu tersenyum, maka dia sudah

 abadi seabadi-abadinya.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLIKASI CINTA SEBAGAI SUATU CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN

Menilik Kebijakan Mahkamah Agung terhadap Kaesang, Apakah Sudah Sejalan dengan Konstitusi Indonesia?