Peran Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam Menguatkan Kapasitas Administrasi, Tata Kelola Birokrasi, Transparansi, Partisipasi, dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Desa

  

Peran Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam Menguatkan Kapasitas Administrasi, Tata Kelola Birokrasi, Transparansi, Partisipasi, dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Desa

 


Oleh : Arda Yomi

 


 

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, Indonesia berkomitmen untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Yang berarti salah satu objek pembangunannya adalah Desa sebagai tingkat terendah organisasi pemerintahan. Pembangunan Desa dalam RPJMN tersebut tidak lepas dari prinsip desentralisasi. Desentralisasi adalah wewenang pemerintah pusat yang diberikan kepada daerah, dalam hal ini adalah desa. Tujuan desentralisasi sendiri adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan pemerintahan. Efisiensi dan efektivitas tersebut terjadi karena prinsip desentralisasi memberikan wewenang kepada  pemerintah desa untuk bergerak sendiri untuk mengurus wilayahnya sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat. Pemberian ruang gerak lebih terhadap desa tidak terlepas dari kemiskinan dan lambatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi di desa, yang pada akhirnya menyebabkan masyarakat desa jauh dari kata sejahtera.

 

Pengaturan mengenai desa pada masa orde baru bisa dikatakan masih jauh dari prinsip desentralisasi. Hal ini dapat dilihat dari hubungan pemerintah daerah dan desa. Pada masa orde baru desa adalah bagian dari kabupaten, sehingga kabupaten memiliki kontrol yang kuat terhadap desa melalui kecamatan. Bahkan tidak jarang camat sendiri yang mengontrol desa. Berbeda dengan saat ini, Desa sudah lebih mendekati nilai-nilai desentralisasi dan demokrasi melalui pemisahan antara organ eksekutif dan legislatif di desa. Kepala desa sebagai organ eksekutif tidak lagi menjadi pembuat kebijakan secara mutlak, sebagaimana harusnya eksekutif adalah organ pelaksana suatu kebijakan. Pemisahan dan pembatasan tersebut dilakukan dengan dibentuknya BPD atau Badan Permusyawaratan Desa. BPD berperan penting sebagai wadah bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya dalam pembangunan desa. Selain itu BPD juga berperan aktif dalam mengontrol dan mengawasi organ eksekutif desa. BPD dibentuk sebagai demokratisasi  pemerintahan daerah, khususnya desa. BPD berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam pelaksanaan peraturan desa, APBD, dan Keputusan Kepala Desa.

 

Lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 menjadi keran pembuka dalam kehidupan berdemokrasi di desa. Pengaturan desa dalam undang-undang ini dianggap memberikan dasar hukum yang lebih baik daripada undang-undang sebelumnya. Sebelumnya desa hanya melaksanakan kewenangan sisa dari pemerintah daerah, dan desa bertanggungjawab langsung kepada bupati, dengan kata lain desa tidak diberikan hak otonom dan mandiri secara penuh untuk mengatur dan mengelola potensi wilayahnya masing-masing, karena desa diatur bersamaan dengan peraturan pemerintah daerah. UU No.22 Tahun 1999 memberi status yang tidak jelas bagi desa karena tidak adanya batasan yang jelas mengenai self governing community (otonomi asli) dan local self governing (desentralisasi). 

 

Dalam penerapan UU Desa, masih banyak SDM yang belum memadai, terutama tata kelola administrasi dan birokrasi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa. Dalam membentuk sinergi penyelenggaraan pemerintah desa, maka salah satu faktor yang harus dipenuhi adalah akuntabilitas pengelolaan dana desa. Implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menuntut agar akuntabilitas pengelolaan dana desa dilaksanakan dengan baik. Namun ada beberapa faktor yang dapat menghambat terjadinya proses akuntabilitas tersebut di antaranya adalah kurangnya kualitas dan kemampuan dari pengelola dana desa, kurangnya komitmen organisasi pemerintah desa, dan rendahnya partisipasi masyarakat atau masyarakat tidak kritis dalam mengawasi penggunaan dan pengelolaan dana desa.

 

Dalam UU Desa anggaran yang diberikan sangatlah memadai untuk melakukan program pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat. Sebelum terbentuknya UU Desa, status desa masih sangat tidak jelas dalam pemerintahan. Desa dapat dikatakan hanya menjalani sisa-sisa pemerintahan oleh pemerintah daerah. Dampaknya anggaran yang diberikan terhadap desa tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan desa yang menyebabkan ketimpangan pembangunan antara desa dan kota. Namun pengelolaan anggaran di desa yang cukup besar juga menjadi tantangan bagi pemerintah desa. 

 

Dalam hal anggaran dan pendanaan, desa saat ini dapat diberikan tugas pembantuan oleh pemerintah pusat melalui APBN. Sementara di tingkat daerah, pemerintah daerah baik itu provinsi maupun kabupaten/kota dapat memberi tugas pembantuan kepada desa melalui APBD. Ini menunjukkan adanya upaya untuk mengembalikan status desa sebagai wilayah otonom asli, yang berdasarkan pada keberagaman dan ciri khas budaya masing-masing desa.

 

Sebagian masyarakat Indonesia hidup di Desa. Oleh karena itu desa diberikan kesempatan untuk mengatur sendiri urusan pemerintahannya agar desa dapat dengan maksimal menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam yang maksimal. Pola hubungan masyarakat desa adalah pola hubungan yang berdasarkan pola kekeluargaan dan hubungan batin atau disebut sebagai paguyuban atau Gameinschaft atau community. Sehingga dalam proses pendekatannya, pemerintah harus melakukan pendekatan yang bersifat community. Dalam undang-undang desa pola pendekatannya sudah mengintegrasikan pola local self goverment sebagai pijakan utama pemerintahan desa dengan pola local state goverment. Dalam  pendekatan local self goverment pemerintah desa diberikan kewenangan untuk mengatur sendiri apa yang menjadi urusan pemerintah sesuai dengan kondisi desa masing-masing. Pendekatan local self goverment diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pemerintahan. Meskipun desa bersifat  self goverment community,  namun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tetap bertanggung jawab dan berperan penting dalam kemajuan Desa. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan negara sebagai wujud konkretisasi dari konstitusi UUD 1945 yang mengakui keberagaman dan hak-hak adat.

 

Dalam undang-undang No. 22 Tahun 1999, dapat dilihat bahwa desa hanya menjalankan sisa dari pemerintahan daerah, baik itu dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi, atau tugas pembantuan. Tidak jauh berbeda dengan undang-undang No. 22 Tahun 1999, dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desa hanya menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah daerah, dan hubungan yang terjadi adalah hubungan penugasan semata.

 

Berbeda dengan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan kewenangan terhadap desa sebagai berikut :

a.     Kewenangan berdasarkan hak asal-usul;

b.     Kewenangan lokal berskala desa;

c.     Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota dan 

d.     Kewenangan lain yang di tugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara penugasan yang diberikan kepada desa adalah :

a.     Penugasan dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat.

b.     Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai biaya.

Dari beberapa kewenangan dan penugasan di atas dapat kita simpulkan bahwa kewenangan desa semakin luas seiring dengan dibentuknya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tidak hanya perkara kewenangan sebelum undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 berlaku, sumber pendapatan desa sangatlah minim dan sangat tidak memadai untuk membiayai program pembangunan, menyejahterakan dan melakukan pembinaan masyarakat desa. Berdasarkan peraturan sebelumnya dalam UU No. 22 Tahun 1999, sumber keuangan dan pendapat desa bersumber dari :

a.     Pendapatan asli yang meliputi hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong dan pendapatan asli daerah yang lain yang sah.

b.     Bantuan dari pemerintah kabupaten, bantuan dari pemerintah dan pemerintah provinsi

c.     Sumbangan dari pihak ketiga, dan pinjaman desa

Berbeda dengan UU Desa yang sumber keuangan desanya lebih besar yang meliputi :

a. pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;

b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 

c. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;

d. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;

e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota; 

f. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan

g. lain-lain pendapatan Desa yang sah.

Salah satu metode yang digunakan untuk menguatkan sinergitas dari penyelenggaraan pemerintah desa adalah Village Welfare Society (VWS) yang di usung oleh John Cohen and Norman Uphoff dari  Cornell Universty dalam tulisannya Rural Development Participation: Concepts and Measures For Project Design, Implementation and Evaluation. VWS yang secara korelatif harus memenuhi empat faktor di antaranya adalah : (1) Kualitas partisipasi transparansi dan akuntabilitas (2) pendanaan yang jelas (3) otonomi birokrasi untuk pelayanan dan (4) administrasi yang terarah. Dengan adanya UU Desa maka tidak mutlak ke empat faktor tersebut dapat terpenuhi, namun sejatinya UU Desa yang terbaru ini lebih dapat merangkul ke empat faktor tersebut meski masih terdapat beberapa tantangan dalam penerapannya serta dalam undang-undang desa itu sendiri.

Sebelum masa reformasi status desa sebagai daerah otonomi belumlah jelas dan pasti statusnya. Desa sebagai pemerintah daerah tingkat terbawah di Indonesia harus lebih diperhatikan karena desa memiliki keragaman adat budaya dan potensi daerah yang berbeda-beda sehingga dalam pendekatannya juga diperlukan pendekatan yang berbeda-beda. Sehingga desa seharusnya diberikan hak untuk mengelola sendiri wilayahnya agar kemudian potensi wilayah desa dapat di manfaatkan dan di kelola dengan maksimal. Sebelum lahirnya UU Desa No. 6 Tahun 2014, pemerintah daerah masih memegang peranan yang lebih dominan dalam pemerintahan desa, karena pengaturan mengenai desa masih tergabung dengan pengaturan pemerintahan daerah, sehingga pengaturannya tidak lebih spesifik, komprehensif, dan rinci. Sehingga dengan lahirnya UU Desa dianggap sebagai keran pembuka demokrasi dan kemandirian desa dalam membangun wilayahnya. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi yang mengakui nilai-nilai adat, yang mana nilai-nilai tersebut utamanya ada dan berkembang di desa.

            Namun sinergi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat terwujud tidak hanya karena faktor perundang-undangannya saja, namun juga meliputi kesiapan dan kualitas dari aparat pemerintah desa dalam mengelola birokrasi dan administrasi desa. Kejujuran dan akuntabilitas dalam mengelola keuangan desa juga menjadi faktor penting untuk mewujudkan sinergitas tersebut, karena pada dasarnya baik buruknya pembangunan di desa juga di lihat dari penggunaan anggaran keuangan di desa. Selain itu dengan metode  Village Welfare Society (VWS) yang harus memenuhi empat syarat yaitu : (i) kualitas partisipasi transparansi dan akuntabilitas; (ii) pendanaan yang jelas; (iii) otonomi birokrasi untuk pelayanan; dan (iv) administrasi yang terarah (kesejahteraan). 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru sebagai Penggerak dalam Memajukan Sumber Daya Manusia di Era Globalisasi: Menyikapi Dekadensi Moral di Indonesia

FORMASI (Forum Mahasiswa Pengkaji Konstitusi) FH UNRAM Sukses Gelar Lomba Debat Mahasiswa dan Lomba Esai Mahasiswa Tingkat Nasional