Kaki berpijak, Tangan melambai
Kaki berpijak, Tangan melambai
Penulis: Ananda Firdiansyah
"Homo homini lupus" manusia itu tak ubahnya serigala yang memangsa manusia lain. Tak heran mengapa Oppenheim menyebut dunia ini sebagai RIMBA, karena seakan-akan setiap orang saling membunuh kepentingan yang berbeda. Siapa yang lemah, dialah yang kalah. Ambisi gigih yang melekat dalam kalbu, egoisme yang menghilangkan kebersamaan, semuanya tercemar oleh nafsu belaka, begitulah manusia jika hidup tanpa moral dan krama. Persatuan, kesatuan, toleransi, integrasi. banyak para ahli yg sudah membahasnya, dan banyak orang yang ingin semua itu terealisasi, bukan hanya sekedar fiksi yang terlihat samar dan tidak pasti. Tidak ada yang salah jika seorang mengartikan manusia sebagai zoon politicon, tapi lihatlah bentuk sosialnya, semua terlihat seperti kamuflase yang sewaktu-waktu akan hilang, tanpa pernah terkenang.
Sejak lahir manusia sudah dikaruniai naluri dan akal. Seakan akan itulah bekal hidupnya, bekal yang membawa mereka melewati proses kehidupan. setiap manusia pun juga dikaruniai hati nurani dalam sanubari mereka. Namun seringkali akal itu berbanding terbalik dengan nurani, saling membunuh antar sesamanya, padahal keduanya berpadu di dalam satu tubuh yang sama. Tidak ada yang pernah tau, seberapa penting perpaduannya, hanya sebagai basa basi dalam tanda tanya.
Sebagai contoh, Pada 17 Agustus 1945, presiden pertama kita Ir. Soekarno mencetuskan proklamasi, dengan semangat ber api-api, tekad yang bulat, dan nada yang tegas. Sebagian rakyat berkata "INDONESIA MERDEKA" dan mulai terbentuklah sebuah negeri baru, di atas kepentingan Nasionalis. Namun tak semua rakyat setuju, banyak terjadi pemberontakan demi pemberontakan, RMS, PRRI, DI/TII, dan yang paling membekas ialah PKI. Lagi lagi semua demi kepentingan, saling menjatuhkan meskipun dalam keadaan merintih kesakitan akibat penjajahan. Bahkan, meskipun banyak terjadi pemberontakan, kaum Nasionalis pun tetap mempertahankan kepentingan mereka, meskipun harus membinasakan ratusan, atau bahkan ribuan orang. Hal ini bukan tanpa dasar, semua ada dalam fakta Revolusi sosial yang dilakukan pada bulan maret 1946 di sumatera timur. Tak banyak yang mengetahui sejarah ini, semua selalu berpandangan bahwa kemerdekaan indonesia atas persetujuan segenap rakyat Indonesia.
Segala hal terjadi demi kepentingan segolongan saja, bahkan hukum dibuat hanya untuk melindungi pembuatnya, keadilan sebagai tawarannya. Toleransi hanyalah topeng dari kenistaan yang terjadi. Lalu muncullah sebuah pertanyaan "Apakah hidup memang sekejam itu?"
Orang yang kuat selalu berpijak di atas emas, mereka yang lemah hanya melambai lambai dengan mulut menganga. Hal ini sudah menjadi realita lapangan, fakta yang tak bisa dipungkiri. Manusia lebih pantas disebut sebagai binatang yang ber-otak. Dibanding dengan sebutan Manusia itu sendiri. Begitulah dunia kita, selalu berbicara tentang kedamaian dan keadilan, namun tak pernah bergerak dari zona nyaman. Mereka yang lemah tak mampu berbuat semau mereka, yang kuat pun tak mau bertindak. Roda tak berputar, kaki yang lelah berpijak, dan tangan yang tak henti melambai. Berteriaklah histeris, tak ada yang akan mendengarmu, mereka hanya akan menguburmu dengan tawa.
Hal itulah yang menyebabkan perpaduan antara akal dan nurani harus berbanding lurus, negara kita sedang krisis moral, populasi orang pintar lebih banyak daripada orang beradab, sehingga kadang kepintarannya tak terkontrol oleh norma. Mari merubah pola pikir. Gagasan yang awalnya biadab menjdi beradab, pintar menjadi bijak, kasar menjadi santun, jangan biarkan budaya liberal mengusik keberagaman yang ada, tumbuhkan rasa cinta diantara sesama, aku,kamu dan kalian menjadi kita. Indonesia yang satu di atas Bhineka Tunggal Ika.
Mantapp
BalasHapusLuar biasa Ananda
BalasHapusNice bro
BalasHapusUuwaaaw 😻
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMantap😍
BalasHapus